PERINGATAN! Film yang akan kami ulas
berikut ini bukanlah untuk penonton yang gampang mual atau mempunyai
jantung yang lemah. Ini bukan sekedar Hollywood slasher flick dengan
pemeran model berpakaian minim dan adegan pembunuhan yang terkesan
memuaskan dan keren.The Last House on the Left (2009) dan I Spit on Your
Grave (2010) garapan Hollywood tampak seperti film ringan apabila
diperbandingan dengan film Korea Selatan ini.
I Saw The Devil produksi tahun 2010 yang di sutradara
Kim Jee-Won (A Tale of Two Sisters, 2003) sudah melalui tujuh tahap
pemotongan skenario yang dipaksa badan sensor Korea Selatan agar dapat
layak ditayangkan di sinema. Hasilnya pun masih banyak dengan adegan
penuh kekerasan dan penganiayaan brutal yang membuat miris (terutama
wanita) sehingga anda tak akan bisa duduk tenang selama menonton.
Masih penasaran dengan film ini walaupun resikonya akan menghantui pikiran anda? Baiklah.
|
|
I Saw The Devil tidak dimulai dengan
muluk-muluk. Di sebuah jalan pedesaan yang terisolasi, seorang wanita
muda bernama Joo-Hyun (Oh San-Sa) terjebak di malam bersalju lebat
karena mobilnya mogok. Sambil menunggu bantuan, sebuah mobil lewat.
Muncul sosok asing bertampang lusuh yang menghampirinya dan menawarkan
bantuan. Entah karena tidak kenal dan tidak ingin merepotkan, atau
mungkin tidak nyaman dengan pandangan mata pria bernama Kyung-Chul (Choi
Min-Sik) tersebut, Joo-Hyun dengan sopan menolak bantuannya.
Pria misterius itu pun kembali ke dalam mobilnya. Tak disangka tiba-tiba
Kyung-Chul kembali mendatangi mobil Joo-Hyun dan serta merta membabi
buta menghancurkan kaca mobil. Setelah berhasil membobol masuk, dengan
bengis Kyung-Chul menghajar wanita malang itu dengan palu tanpa ampun.
Itulah adegan pembuka dalam film
I Saw The Devil. |
Pertanyaan pertama yang muncul dari benak penonton bisa dipastikan:
'Kenapa?'. Kyung-Chul sesungguhnya adalah seorang psikopat berbahaya
yang menggemari aksi pembunuhan sebagai rekreasi semata. Dengan ganas
dia telah membunuh belasan korban dari wanita hingga anak-anak dengan
cara-cara yang tak terbayangkan. Dari kekerasan seksual hingga tindakan
mutilasi, Kyung-Chul tidak pernah tanggung-tanggung dalam mengeksekusi
semua korbannya.
Mungkin sudah nasibnya Kyung-Chul sebagai pembunuh berantai yang tak
pandang mata memilih korban, Joo-Hyun yang baru ia bunuh adalah putri
mantan kepala polisi dan calon suaminya Soo-Hyun (Lee Byung-Hun) adalah
seorang agen rahasia. Menemukan mayat calon istrinya dalam kondisi
mengenaskan di sebuah sungai, Soo-Hyun bersumpah akan memberikan rasa
sakit seribu kali lipat yang dirasakan sang tunangan kepada orang yang
telah membunuhnya.
|
Disinilah sebenarnya kisah I Saw The Devil dimulai.
Dengan bantuan sang calon mertua yang masih mempunyai akses data
kepolisian, Soo-Hyun mendapat intel sejumlah calon tersangka yang
mempunyai sejarah kriminal dengan motif yang diperkirakan cocok. Setelah
satu per satu ditelusuri, Soo-Hyun akhirnya menemukan bahwa Kyung-Chul
adalah pelakunya, dan merencanakan aksi balas dendam.
Pengejaran Soo-Hyun akhirnya mengantarkannya pada Kyung-Chul di
tengah-tengah aksinya 'menyantap' salah satu calon korbannya, dan tanpa
banyak buang waktu, ia pun menghajar Kyung-Chul habis-habisan.
Disinilah I Saw The Devil membuktikan bahwa
film ini bukanlah film balas dendam yang tipikal, dimana sang sutradara
memutuskan untuk memberikan twist cerita yang cukup menarik -- saat
akhirnya Kyung-Chul tidak sadarkan diri, di luar dugaan Soo-Hyun
ternyata memutuskan untuk membiarkan Kyung-Chul hidup, bahkan
membekalinya dengan sejumlah uang untuk bertahan.
Rasa duka mendalam seorang pria yang kehilangan wanita yang dicintainya
karena dibunuh rupanya menghantam akal sehat Soo-Hyun, sehingga tekad
balas dendam yang sudah sangat menggebu bukanlah sesuatu yang mudah
ditahan. Sosok Soo-Hyun yang sedang rapuh ini pun dengan mudah terlahap
sisi tergelap jiwanya sendiri. Soo-Hyun tak ingin membunuh Kyung-Chul
begitu saja, karena kematian yang instan tidak setara dengan siksaan
yang mungkin dialami mendiang Joo-Hyun. Ia ingin melancarkan balas
dendamnya secara perlahan-lahan, dengan memberikan rasa teror serupa
pada Kyung-Chul melalui penyiksaan bertahap.
|
|
Amanat sutradara Jee-woon Kim dalam I Saw The Devil tentunya
bukan sekedar tentang kisah balas dendam yang umum, namun memiliki
jalur cerita yang lebih mendalam. Film ini dengan baik mempertanyakan
faktor apakah yang menciptakan suatu monster. Sang antagonis Kyung-Chul
bukanlah seorang pembunuh berantai yang umum.
Tumbuh dari lingkungan pemukiman terbengkalai yang dalam kenyataannya
merupakan hal yang umum di Korea Selatan, terlahirlah sebuah sosok
monster yang cerdas, sadis, dan tak mengenal rasa takut. Kegemaran dan
caranya dalam menyiksa korban pun membenarkan kita untuk mendukung balas
dendam Soo-Hyun.
|
Namun, dengan metode balas dendam yang ia pilih, Soo-Hyun terlihat
seakan mulai menikmati permainan kucing dan tikus yang brutal ini, dan
perlahan jadi serupa dengan sosok "setan" Kyung-Chul yang ia benci.
Pertarungan antara dua karakter ini berhasil dengan begitu sempurna
diciptakan oleh dua pemerannya. Sebagai Soo-Hyun, aktor Lee Byung-Hun
mampu memberikan gambaran tepat seorang agen rahasia terlatih yang
terguncang karena kematian sang tunangan. Yang awalnya digambarkan tegas
namun romantis, terlihat dengan jelas transisinya menjadi pembalas
dendam yang tidak memiliki belas kasihan.
|
Lee juga mendapatkan lawan main yang juga tak kalah 'ganas' yakni Choi
Min-sik yang tidak perlu diragukan lagi kualitasnya aktingnya. Terkenal
dengan peran utamanya di film Old Boy (2003), aktor yang sudah
eksis sejak tahun 1989 ini mempunyai daya hipnotis dalam memperagakan
karakter berdarah dingin yang memikat sebagaimana Anthony Hopkins
sebagai Hannibal Lecter di THe Silence Of The Lambs (1991).
Walau karakter Kyung-Chul minim dialog, namun segala gejolak perasaan
dan emosi mampu diekspresikan dengan baik hanya dengan permainan mata
dan bibir yang didukung oleh sinematografi yang elok.
evil vs. evil
Tak ada batas hitam dan putih atau "hero" dan "villain" dalam
film ini. Kita hanya diberi pencerahan secara realistik atas kemampuan
manusia untuk menerobos batas-batas manusiawi, sehingga keyakinan apa
yang benar atau salah diserahkan seluruhnya kepada naluri hati penonton.
Tidak heran kalau banyak pihak yang tidak senang dengan tingkat
kesadisan film ini. Jika anda adalah penonton yang nyaman melihat
gambaran realistis pembunuh berantai yang sesungguhnya, anda pasti akan
mengapresiasi I Saw The Devil dan memahami mengapa film ini patut dihargai sebagai film thriller terbaik sejak beberapa tahun ini
|
Tampilkan postingan dengan label movie. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label movie. Tampilkan semua postingan
Kamis, 24 Januari 2013
I Saw The Devil: Iblis Yang Nyata
Step Up 3D: Lupakan Jalan Cerita, Nikmati Saja Tariannya
Masih setia dengan tema kehidupan penari jalanan, Step Up 3D kembali menampilkan beberapa wajah-wajah lama yang pernah bermain sebelumnya pada Step Up 2. Sebut saja Adam G. Sevani yang dulu berperan sebagai Moose, kini menjadi tokoh kunci dalam film Step Up 3D. Moose yang diceritakan berkuliah di Universitas New York akhirnya kembali terlibat dengan kelompok penari jalanan bernama ‘Pirates’.
Sepertinya mudah menebak jalan cerita film ini, karena konflik yang dihadirkan tak lebih dari persaingan dua kelompok penari jalanan yang sama-sama ingin memenangkan sebuah kompetisi* dance* bergengsi. Anda tidak perlu menonton 2 film sebelumnya untuk mengerti cerita film ini. Walaupun ada sekuel dari film Step Up 1 *dan *2, jalan cerita film ini tidak terlalu berhubungan dengan film sebelumnya. Jalan ceritanya sendiri cenderung mudah ditebak, dan ‘klise’!
But wait, this movie is not all about the story...
Yup*, kita nonton film ini bukan untuk menikmati jalan ceritanya, tapi lebih pada aksi dance yang sangat menghibur dengan hentakan musik hip-hop yang dapat membuat kita bersemangat. Apalagi format 3D dalam film ini mempunyai kelebihan tersendiri. Malah bisa dibilang 3D menjadi ‘penunjang utama' dalam film berdurasi satu jam setengah ini.
Terasa kompak dengan judulnya, Step Up 3D *bukan *Step Up 3. Sepertinya film ini sekaligus menegaskan kalau ini adalah upgrade *dari film bergenre sejenis sebelumnya. Jika film ini ditampilkan dalam format 2D, mungkin ‘feel’nya akan berbeda. So*, sangat disarankan untuk menonton versi 3D-nya.
Harus diakui efek 3D film ini sangat bagus. Semua detil filmnya--bahkan ketika adegan non-dance--tampak dikonversi menjadi full 3D. Bahkan bila dibandingkan dengan film Street Dance 3D, film ini masih lebih bagus. Belum lagi efek popping eye-nya sangat terasa dan sangat entertaining tentunya.
Selain itu musik-musik pengiring dance *di film ini juga sangat *catchy. IMHO music di film Step Up 3D masih lebih bagus daripada di Street Dance 3D. Total 34 soundtrack *yang mengiringi film ini tidak mengecewakan, terutama *main soundtrack *di lagu *Club Can't Handle Me *yang dinyanyikan Flo Rida terdengar sangat *catchy.
Jika Anda mengharapkan jalan cerita pada film ini, mungkin Anda akan kecewa. Karena ceritanya sangat biasa dan mudah ditebak. Namun jika Anda merupakan penggemar dance, film ini akan sangat menghibur.
*So, let's dance and forget about the story anyway.
Step Up 3D: Lupakan Jalan Cerita, Nikmati Saja Tariannya
Masih setia dengan tema kehidupan penari jalanan, Step Up 3D kembali menampilkan beberapa wajah-wajah lama yang pernah bermain sebelumnya pada Step Up 2. Sebut saja Adam G. Sevani yang dulu berperan sebagai Moose, kini menjadi tokoh kunci dalam film Step Up 3D. Moose yang diceritakan berkuliah di Universitas New York akhirnya kembali terlibat dengan kelompok penari jalanan bernama ‘Pirates’.
Sepertinya mudah menebak jalan cerita film ini, karena konflik yang dihadirkan tak lebih dari persaingan dua kelompok penari jalanan yang sama-sama ingin memenangkan sebuah kompetisi* dance* bergengsi. Anda tidak perlu menonton 2 film sebelumnya untuk mengerti cerita film ini. Walaupun ada sekuel dari film Step Up 1 *dan *2, jalan cerita film ini tidak terlalu berhubungan dengan film sebelumnya. Jalan ceritanya sendiri cenderung mudah ditebak, dan ‘klise’!
But wait, this movie is not all about the story...
Yup*, kita nonton film ini bukan untuk menikmati jalan ceritanya, tapi lebih pada aksi dance yang sangat menghibur dengan hentakan musik hip-hop yang dapat membuat kita bersemangat. Apalagi format 3D dalam film ini mempunyai kelebihan tersendiri. Malah bisa dibilang 3D menjadi ‘penunjang utama' dalam film berdurasi satu jam setengah ini.
Terasa kompak dengan judulnya, Step Up 3D *bukan *Step Up 3. Sepertinya film ini sekaligus menegaskan kalau ini adalah upgrade *dari film bergenre sejenis sebelumnya. Jika film ini ditampilkan dalam format 2D, mungkin ‘feel’nya akan berbeda. So*, sangat disarankan untuk menonton versi 3D-nya.
Harus diakui efek 3D film ini sangat bagus. Semua detil filmnya--bahkan ketika adegan non-dance--tampak dikonversi menjadi full 3D. Bahkan bila dibandingkan dengan film Street Dance 3D, film ini masih lebih bagus. Belum lagi efek popping eye-nya sangat terasa dan sangat entertaining tentunya.
Selain itu musik-musik pengiring dance *di film ini juga sangat *catchy. IMHO music di film Step Up 3D masih lebih bagus daripada di Street Dance 3D. Total 34 soundtrack *yang mengiringi film ini tidak mengecewakan, terutama *main soundtrack *di lagu *Club Can't Handle Me *yang dinyanyikan Flo Rida terdengar sangat *catchy.
Jika Anda mengharapkan jalan cerita pada film ini, mungkin Anda akan kecewa. Karena ceritanya sangat biasa dan mudah ditebak. Namun jika Anda merupakan penggemar dance, film ini akan sangat menghibur.
*So, let's dance and forget about the story anyway.
Season of The Witch : Nicholas Cage Masih Bisa ‘Menyihir’
Nama Nicholas Cage seolah sudah jadi
jaminan untuk sebuah film yang layak tonton. Begitu melihat namanya
memerani sebuah film terbaru berjudul Season of The Witch,
seketika itu pula kita seperti dijanjikan sebuah tontonan yang menarik,
yang membuat kita lupa bahwa sedang menonton sebuah film, dan bukan
sebuah kejadian nyata. Itu yang seringkali terjadi dalam film-film yang
diperani aktor Hollywood yang pernah digelari sebuah majalah ternama
sebagai selebriti berpenampilan terburuk ini. Tapi sebaliknya, film-film
yang diperaninya menjanjikan yang terbaik sekaligus menghibur.
|
|
Season of The Witch misalnya. Film ini mengambil setting peradaban
ke-14, di saat terjadinya perang antaragama yang dikenal dengan Perang
Salib. Perang inilah yang dibawa kembali ke bumi yang nyaris hancur oleh
sebuah virus yang dinamai Wabah Hitam.
Wabah itu berawal dari sebuah Gereja yang tiba-tiba hancur. Konon
hancurnya gereja ini disebabkan oleh sebuah wabah yang disebabkan oleh
sihir. Ilmu sihir itu dicurigai berasal dari seorang penyihir wanita
muda dan cantik bernama Anna (Claire Foy). Entah dari mana awalnya, Anna
harus ditangkap dan dilakukan ritual penyucian agar wabah ini segera
hilang. Itu satu persyaratan yang dipercayai.
Seorang pendeta menugaskan 2 ksatria, Behmen (Nicholas Cage) dan Felson
(Ron Perlman). Kedua satria ini sudah sangat berpengalaman di
peperangan. Insting mereka tajam, naluri mereka sepeka telinga serigala.
|
Namun sayangnya, musuh yang akan mereka hadapi bukanlah musuh yang biasa
mereka temui dalam pertempuran selama ini. Behmen dan Felson tak pernah
menyadari setiap detik nyawa mereka terancam oleh musuh yang nyaris tak
terlihat.
Behmen dan Felson tidak sendiri. Mereka ditemani oleh seorang pendeta,
seorang ksatria yang baru saja berduka, dan seorang pemuda keras kepala
yang sedang bermimpi untuk menjadi ksatria. Sepanjang film ini berkisah
tentang perjalanan para ksatria itu untuk mencari Anna. Di tengah
pencarian itulah misi mereka diganggu oleh kejadian-kejadian mistis di
sebuah gurun pasir.
Perjuangan para ksatria ini untuk membawa pulang si wanita penyihir
itulah yang menjadi daya tarik film ini yang berdurasi sekitar 92 menit.
Perjuangan yang sulit dan menakutkan yang menentukan nasib dunia ada di
tangan mereka.
|
Dominic Sena, sang sutradara sudah 2 kali ini bekerjasama dengan Nicolas
Cage. Sena pernah menyutradari Cage dalam film Gone in 60 Second yang
beradu akting dengan Angelina Jolie. Jadi nggak heran kalau Cage mengaku
sudah hapal betul dengan gaya penyutradaan Sena, dan ia menyukainya.
Dari jalan ceritanya, ini adalah film khas Hollywood yang tak pernah
ketinggalan sisi romansanya. Akankah Cage jatuh cinta dengan Anna, si
wanita penyihir berwajah cantik? Jalan ceritanya mudah ditebak. Tapi
yang paling mengagumkan, Sena yang dikenal mengawali karirnya di bidang
musik video, mencurahkan seluruh keahliannya untuk film ini. Jadi film
ini selain ‘menjual’ Nicholas Cage dan spesial efek yang indah
memamerkan peradaban ke-14, soal musik yang mengiringi sepanjang film
ini juga bisa menjadi daya tarik tersendiri.
Ya, film ini layak Anda tonton di akhir minggu depan. Seperti
sebelumnya, Nicholas Cage masih bisa 'menyihir' penyuka film-filmnya.
Percayalah!
|
Insidious
Bagi anda penggemar film-film horror, mungkin Insidious merupakan salah
satu film yang patut anda tonton. Pasalnya James Wan dan Leigh Whannell
kembali berduet sebagai pasangan sutradara dan penulis yang benar-benar
dia acungi jempol setelah sukses dengan film SAW dan Death Silence.
Bolehlah dua orang ini jago membuat film-film horror yang penuh darah
dan mampu membuat penonton menutup mata dengan mulut terbuka, tapi
bisakah mereka membangun atmosfer atau suasana horror yang mengundang
bulu kuduk berdiri?
|
|
|
|
Pasalnya film-film hollywood terlalu lemah untuk membuat film yang
mengundang bulu kuduk penonton berdiri dibandingkan dengan film horror
asia. Jika memang demikian Insidious mempunyai keduanya, membuat anda
terbelalak sambil meledak-ledak ketakutan dan hening mengundang rasa
ngeri sambil merinding disko.
Film ini menceritakan tentang keluarga Josh Lambert yang menempati rumah
baru. Berharap mendapatkan lingkungan yang lebih baik justru
sebaliknya, pindah rumah merupakan awal malapetaka bagi mereka.
" it's not
the house that's haunted ...it's your son"
Di rumah itulah seorang anaknya, Dalton Lambert, terjatuh dari tangga
dan menderita koma, Josh Lambert yang tinggal beserta istri dan ketiga
anaknya harus menghadapi kejadian-kejadian aneh yang menimpa mereka di
rumahnya. Berada diluar batas kemampuannya Josh mendatangkan seorang
cenayang untuk membersihkan masalah yang terjadi di rumahnya. >>>
|
Namun, semakin lama ternyata kehadiran makhluk halus di rumahnya semakin
mengganggu. Sampai akhirnya Renai Lambert tidak kuat lagi dan meminta
kepada sang suami untuk segera pindah rumah. Keinginan sang istri
dikabulkan dengan harapan keluarga mereka tidak akan diganggu lagi oleh
makhluk halus.
Namun sayangnya, ketakutan masih menghantui mereka.
Insidious yang digarap oleh James Wan benar-benar menghadirkan tontonan
film horor yang mendebarkan penontonnya. Lupakan saja jalan cerita yang
sepertinya terlalu mudah ditebak, yang jelas film ini akan meletupkan
adrenalin anda dan membuat anda menahan napas sejenak sambil berpikir,
"dimana hantunya?"
Saya sarankan jangan mencoba menebak-nebak, karena sang sutradara
pandai memainkan persepsi penonton sampai benar-benar merasakan
surprise.
|
Shutter Island - Perdebatan Antara Halusinasi dan Konspirasi
Edward "Tedy" Daniels (Leonardo DiCaprio) mengakui dirinya sebagai
Marsekal AS jempolan yang mendapatkan tugas untuk menyelidiki seorang
pembunuh berantai dan juga psikopat bernama Rachel Solano. Adalah
Shutter Island, sebuah rumah sakit jiwa yang secara khusus di tempatkan
untuk orang-orang yang menderita penyakit kegilaan yang berbahaya.
Penjara sekaligus tempat rehabilitasi, seperti itulah di fungsikan rumah
sakit itu tempat Rachel Solano berada.
Namun Ted juga mempunyai visi pribadi. Hal ini terkait dengan Adrew
Leaddins seorang pembunuh yang membunuh mendiang istrinya. Ted
berkeyakinan bahwa orang itu juga berada di tempat yang sama...
|
|
Shutter Island.
Bersama Chuck Aule, Ted mendatangi pulau itu. Namun sayang, ada kesan
bahwa pihak rumah sakit sangat tertutup terhadap segala aktifitasnya.
Hal ini membuat Ted menaruh curiga karena adanya praktek illegal yang
dilakukan oleh pihak rumah sakit terhadap pasien-pasiennya sebagai
kelinci percobaan. Bahkan Ted mencium adanya aliran dana dari pihak
komunis untuk melakukan lobotomy pasien-pisen rumah sakit, kala itu
tidakan lobotomy masih diangap illegal.
Ted yang veteran Perang Dunia II masih trauma dengan kejadian-kejadian yang dilaluinya. Trauma itu berkaitan dengan pembantaian perang, kematian anaknya dan juga istrinya. >>> |
Halusinasi Ted semakin hari semakin sering terjadi sehingga membuat
pihak rumah sakit memberikan obat penenang, Ted semakin tidak yakin
dengan kewarasannya.
Dalam kegamangan, kecurigaan Ted terhadap pihak rumah sakit semakin
menajam ketika Rachel Solano yang di kabarkan menghilang bersembunyi di
sebuah goa.
Rachel membocorkan bahwa ada konsiprasi besar-besaran didalam rumah
sakit. Bahkan seorang yang waras akan di klaim gila oleh pihak rumah
sakit, sehingga pihak rumah sakit dapat leluasa melakukan
praktek-praktek illegal. Bahkan Ted mengakui bahwa dirinya telah meminum
obat dari pihak rumah sakit yang menyebabkan halusinasinya semakin
menjadi-jadi.
|
Kini Ted terjebak di sebuah pulau bernama Shutter Island yang sedang
dilanda badai dan topan. Pusat perhatiannya adalah keluar dari pulau
tersebut dan juga harus berjuang menyelamatkan kewarasannya karena pihak
Rumah Sakit Jiwa telah memberinya obat obatan yang membuatnya
berhalusinasi. Semua teka-teki, kejanggalan, keanehan dan kerancuan
antara kenyataan dan halusinasi membuat semuanya terasa tidak ada yang
jelas.
Untuk mengakhiri ketidak pastianya, Ted bertekad untuk menerobos
kesebuah mercusuar. Diyakini tempat itu adalah tempat dimana praktek
illegal itu dilakukan. Berharap melihat adanya praktek lobotomy, justru
Ted mendapati Ashecliff, Dr. Jhon Cawley (Ben Kingsley), seorang kepala
rumah sakit yang sedang duduk dengan santai.
Saat itu puila Dr. John Cawly menjelaskan bahwa Ted sejak awal memang
sebagai pasien rumah sakit tersebut, dengan kata lain, Ted memang
seseorang yang memiliki kelainan jiwa. Dia telah menembak istrinya
sendiri yang telah menenggelamkan ketiga orang anak mereka di danau di
belakang rumah mereka. Ted menciptakan karakter fiktif "Andrew Laeddis"
hasil dari keinginannya untuk lari dari rasa bersalah karena telah
membunuh istrinya sendiri. Karena latar belakang pekerjaan dan imajinasi
yang telah diciptakannya, ia dianggap seorang pasien luar biasa yang
memiliki inteligensia tinggi.
Dalam dua tahun terakhir, penyakit Ted kambuh berulang-ulang, sehingga
pihak rumah sakit jiwa dari Shutter Island merancang sebuah sandiwara
sedemikian rupa, dengan Chuck Aule (yang sebenarnya merupakan psikiater
pribadi Tedy, Dr. Sheehan) sebagai partner barunya, dengan tujuan
menyembuhkan Ted dari imajinasi liarnya tersebut.
Tidak berhasil dengan drama yang dibuat, pada akhirnya pihak rumah sakit
dengan terpaksa (sengaja) akan memotong syaraf pada otak Tedy. Praktek
inilah yg sebenarnya dihindari oleh Tedy. Namun dengan tenang Tedy
menjawab kepada mantan rekannya Chuck.
|
|
"Which would
be worse: to live as a monster, or to die as a good man?" |
Ada dua tema besar tentang ending film ini yang menarik; Apakah Ted
terjebak dalam konspirasi Rumah Sakit? atau Ted menderita schizophrenia
seperti yang dijelaskan Dr. John Cawly?
Penonton-pun dihadapkan pada cerita yang menggantung dan cukup
membingungkan. Seolah tidak ada penjelasan yang memuasakan dari berbagai
dikusi yang telah banyak di lakukan, terutama di media internet.
Seolah film ini tidak akan membiarkan penonton pulang dengan dengan otak
kosong. Sulit rasanya untuk tidak berdebat seusai menonton film ini.
Bahkan kita diajak untuk berfikir, apakah kita masih waras setelah
menonton film ini?
|
Namun yang jelas film ini berhasil
men-twist, sebuah ending menjadi dua tema besar yang menarik untuk di
perbincangkan. Diskusi yang menarik inilah yang pada akhirnya mendapat
perhatian dan memunculkan rasa penasaran publik. Yang jelas promosi
gratis itu membuat penjualan tiketnya berada di puncak tangga perfilman
diatas Percy Jackson dan The Wolfman di Amerika Serikat di minggu-minggu
tayangan pertamanya.
|
Harry Potter And The Deadly Hollows Part 2
Hampir lebih dari 4 bulan terakhir
ini, semua penggemar kisah Harry Potter cukup merasakan gelisah dan
khawatir karena tidak bisa menyaksikan finale dari
cerita fantasi karya J.K Rowling ini di layar besar. Terus setia
mengikuti 6 instalasi Harry Potter terakhir di bioskop, rasanya tidak
mungkin untuk menyaksikan film penutup ini hanya dari DVD. Mau
menyeberang ke negara tetangga demi menonton pun rasanya memperlukan
ongkos yang besar.
|
|
Namun, sekarang rasa kekhawatirkan itu boleh ditinggalkan. Setelah
beberapa bulan mengalami perdebatan panjang tentang bea cukai masuk
film Hollywood ke Indonesia, akhirnya yang ditunggu-tunggu bisa tayang. Harry Potter And The Deadly Hollows Part 2 bisa dinikmati di bioskop mulai Jumat, 29 Juli.
Jaringan Bioskop 21 pun sudah membuka pembelian tiket sejak hari Rabu (27/7) lalu untuk pertunjukkan sepanjang weekend. Apa boleh buat, film yang sudah menembus box office dengan pendapat 47,4 Juta Dollar ini mempunyai fan-base yang cukup banyak di Indonesia, baik dari serial film maupun buku. >>>
|
Akan selalu ada perbandingan cerita antara format buku dan film dimana
banyak adegan buku yang tidak masuk ke dalam skenario film. Walau
demikian, secara garis besar Harry Potter And The Deadly Hollows Part 2 cukup mengangkat bagian-bagian yang penting.
Berbagai media seluruh dunia pun memuji finale ini dengan ulasan-ulasan yang sangat bagus. Tapi nothing is perfect.
Tentunya akan selalu ada sejumlah pihak yang merasa sedikit tidak puas,
terutama fans berat versi buku yang sangat setia dengan alur cerita
original yang di tulis J.K Rowling
|
Jangan khawatir kami tidak akan memberi spoiler cerita (apalagi emang ada bukunya loh!).
Tapi untuk sedikit menjelaskan sinopsis cerita, awal film ini langsung
menyambung dari akhir bagian pertama The Deadly Hollows. Sang pangeran
kegelapan Voldermort (Ralph Finnes) sudah memegang tongkat sihir terkuat
dalam tangannya dan sudah siap untuk menyelesaikan apa yang pernah ia
gagal lakukan 15 tahun lalu: membunuh Harry Potter.
" Harry Potter, the boy who lived...
come to die. Avada Kedavra! " - Voldemort |
|
Satu-satunya cara Harry Potter
(Daniel Radcliffe), Hermione (Emma Watson), serta Ron Weasley (Rupert
Grint) untuk bisa mengalahkan Voldermort adalah dengan menemukan dan
menghancurkan separuh jiwa Voldermort yang tersimpan dalam Horcruxes.
Namun pencarian tersebut tidaklah gampang, apalagi mereka harus melalui
perjalanan yang terus menghadapi maut. >>>
|
Mengetahui usaha para trio tersebut,
Voldermort pun tak buang-buang waktu untuk segera mengirim pasukannya
menyerang Hogwarts dan mencari Harry yang dilindungi guru dan
teman-temannya. Pertemburan hebat antara penyihir terjadi, dan banyak
tokoh penting dalam kehidupan Harry yang jatuh dalam finale ini.
Dapatkah Harry Potter mengalahkan
sang pangeran kegelapan? Pengorbanan apa lagi kah yang harus dihadapi
teman-teman penyihir untuk mendukung Harry?
|
Bagi kalian yang kecewa The Deadly Hollow Part 1 tidak direlis dalam format 3D ditengah-tengah populernya trend teknologi tersebut, kalian pasti akan sangat menikmati Part 2 format 3D ini karena akan menampilkan sisi action yang
lebih banyak, seperti efek gedung-gedung yang hancur, makhluk-makhluk
ajaib, dan berbagai macam trik sihir dalam pertempuran. Tapi jujur
saja...
efek 3D yang digunakan tidak terlalu memberi movie experience yang berbeda dengan format biasa 2D-nya.
Apalagi bila diperbandingkan dengan efek 3D yang digunakan Transformers: Dark Side of The Moon, 3D experience The Deadly Hollows Part 2 sangat jauh dibawah. Maka dengan itu apabila tidak sempat menonton versi 3D-nya, it's okay untuk hanya menonton versi 2D-nya.
|
Transformers: Dark of The Moon
Ketika pertama kali mendengar pengumuman bahwa franchise Transformers akan diadaptasi ke format live action movie di layar lebar, para fanboys T-Formers seluruh dunia gempar gembira dan hasilnya pun cukup memuaskan. Walau jalan ceritanya cukup standar, namun special effect CGI yang digunakan sutradara Michael Bay sungguh menghibur mata bagaikan seorang balita yang pertama kali melihat kembang api.
Terserah jika banyak orang yang pernah dan masih merasa pesimis dengan
penggarapan Transformers oleh Michael Bay selama ini, tapi harus diakui
bahwa Bay mempunyai imajinasi yang jenius dalam menggambarkan sebuah
visi a real life Transformers di hadapan mata manusia. It was amazing!
Proses transformasi para robot dari kendaraan menjadi raksasa di eksekusi dengan cerdas, bahkan diluar bayangan kita semua. Action sequence kejar-kejaran dan pertempuran antara Autobots dan Decepticon di koreograf dengan rapih dan mengesankan. Tak hanya special effect robot saja, namun semua lelaki pasti mengakui bahwa Megan Fox terlihat sangat 'eye candy' di film tersebut. Gak usah pusing memikirkan plot dan character development dalam film ini karena kita penonton sudah merasa terpuaskan dengan visual yang sangat luar biasa.
|
|
Lalu bagaimana dengan sequel-nya Tranformers: Revenge of the Fallen?
Typical Michael Bay movie. Merasa sukses dengan instalasi pertama Transformers mungkin membuatnya lebih cuek dengan plot cerita yang seharusnya lebih menarik dalam sekuel ini. Visual spesial efek-nya tetap menakjubkan, tapi para penonton tidak disuguhkan sebuah kisah yang substansial dan mendalam mengenai para robot-robot asal planet Cybetron ini. Konten Revenge of The Fallen ini hanya perkelahian, kejar-kejaran, dan memamerkan body Megan Fox. >>> |
Michael Bay dan aktor Shia LaBeouf pun mengakui bahwa sekuel
Transformers ini kurang bagus dan berjanji akan lebih baik menggarap
dengan 'hati' sekuel berikutnya yaitu Transformers: Dark of The Moon.
Hasilnya?
Another typical Michael Bay movie. Masih mengecewakan. (terutama karena tidak ada Megan Fox walau aktingnya juga engga bagus-bagus amat) |
Instalasi ketiga Transformers yang juga dianggap sebagai finale ini membuka
ceritanya dengan sebuah prolog misi luar angkasa paling terkenal yaitu
Apollo 11 pada tahun 1969. Sejarah menceritakan bahwa Neil Armstrong dan
rekan-rekannya dikirim oleh NASA sebagai manusia pertama yang menginjak kaki di bulan.
Namun di film ini, misi tersebut hanyalah sebagai kedok dari misi
sebenarnya yaitu menyelidiki benda tak dikenal yang menabrak bulan pada
tahun 1961. Tidak ingin didahului oleh Uni Soviet, maka Amerika serikat
berlomba untuk lebih dahulu mencapai bulan dan kemudian merahasiakan
penemuan sebuah pesawat luar angkasa yang dipenuhi bangkai robot.
Puluhan tahun penemuan tersebut dirahasiakan pemerintah Amerika Serikat sampai akhirnya dalam suatu misi di Chernobyl The Autobots yang tengah bekerjasama dengan tentara Amerika dalam menjaga kedamaian dunia (red: ew!) menemukan sel bahan bakar dari pesawat luar angkasa tersebut. Ternyata pesawat yang mereka sebut sebagai "Ark" ini adalah pesawat yang berhasil melarikan diri dari perang planet Cybertron, dan memuatkan benda penting "The Pillars" yang mampu mengakhiri konflik antara Autobots dan Decepticons.
Sang pemimpin Optimus Prime akhirnya mengetahui selama ini pemerintah
Amerika Serikat telah merahasiakan salah satu peninggalan penting dari
planetnya. Ditemani oleh Ratchet, Optimus pun pergi ke bulan dan di
dalam Ark tersebut ia menemukan The Pillars serta leluhur pemimpin The Autobots Sentinel Prime dalam keadaan koma.
Kembali ke bumi Optimus segera menghidupkan Sentinel Prime menggunakan kekuatan energi Matrix of Leadership, dan berdua mereka baru menyadari bahwa jumlah Pillar yang
ditemukan ternyata tidak lengkap. Sam Witwicky (Shia Labeouf) yang
sudah mempunyai pacar baru bernama Carly Spencer (Rosie
Huntington-Whiteley) menyadari bahwa The Decepticons lah yang memegang Pillar yang hilang dan dahulu kala Sentinel Prime sudah berjanji akan kerjasama membantu Megatron membangun kembali planet Cybertron.
Bagaimanakah Optimus Prime dan kawan-kawan dapat mengalahkan Megatron dan pasukan Decepticons yang dibantu oleh leluhurnya sendiri?
|
|
Secara keseluruhan film ini memang mempunyai cerita dasar yang
Pertama, Dark Of The Moon mempunyai durasi 2 jam dan 30 menit yang terlalu panjang untuk sebuah film yang masih menggunakan trademark formula yang sama seperti dua Transformers sebelumnya, yaitu...
The 6 C's
of Michael Bay:
Chases, Clashes,
Crashes, Combustions, Carnage, and Cleavage.
Untuk film Transformers perdana mungkin masih bisa ditoleransi berkat menggunakan terobosan special effect yang
belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun apabila berulang kali
digunakan terus untuk film berikut-berikutnya, tentunya akan terlalu
meletihkan penonton dan tidak menantang intelektual penonton dewasa.
Setelah 1 stengah jam, kemungkinan anda akan mulai risih bertanya 'kapan
sih nih film abisnya?'
Kebiasaan sutradara Michael Bay yang lebih mementingkan kecantikan
visual gambar ketimbang kompleksitas dan detail alur cerita adalah
kelemahan utama dari franchise film Transformers ini (red: atau semuanya).
Memang tidak ada film yang sempurna bebas dari cela, namun tidak ada
salahnya sedikit meluangkan waktu untuk menggarap cerita yang ketat dan
sedikit masuk akal. >>>
|
Contohnya, hukum fisika di dunia film Transformers berbeda dengan ilmu
alam nyata. Robot-robot yang tumbang dan gedung hancur beruntuhan tidak
mungkin akan menimpa manusia-manusia kecil di bawahnya. Melalui sebuah
portal, planet yang terbuat dari besi mampu dibawa mendekati bumi tanpa
terjadinya konflik gravitasi antara dua planet tersebut. It doesn't make sense.
Sangat dimengerti bahwa Tranformers adalah kisah fantasi dan fiksi, namun tidak ada salahnya ada keseimbangan antara elemen fiction fantasy (eksistensial robot raksasa) dan reality (kehidupan nyata sehari-hari penonton) karena itulah yang membuat sebuah film fiksi menjadi sukses.
Tak hanya itu, plot hole dalam cerita film ini terlalu berlebihan seakan
terkesan karakter-karakter dalam film ini tidak ada yang mempunyai akal
sehat (red: otak).
Contohnya, sepanjang film ini semua orang dengan mudahnya membocorkan
rahasia masing-masing. Seorang manusia biasa seperti Carly dengan
gampangnya mampu meyakinkan seorang pemimpin berdarah dingin seperti
Megatron untuk mengkhianati Sentinel Prime. Kalau untuk sebuah soap
opera atau sinetron mungkin hal seperti ini masih bisa ditoleransi,
namun berbeda apabila untuk sebuah film layar lebar yang mencantumkan
nama Steven Spielberg.
|
Kedua, sutradara Michael Bay sepertinya emang tidak mau pusing memilih casting atau
emang hanya membutuhkan kecantikan saja. sebagai model cantik Rosie
Huntington-Whiteley memang sangat 'enak' untuk dilihat, tapi untuk
mengejar karir akting kami harap Rosie berhenti disini saja. She is a very horrible actor. Tidak ada chemistry yang terlihat sama sekal iantara karakter yang diperankan Rosie Huntington-Whiteley dengan Shia Labeouf.
Ketiga, sebetulnya jalur cerita film ini tidak begitu berbeda dengan film sebelumnya Transformers: Revenge Of The Fallen,
yaitu munculnya sebuah robot kuno yang harus dikalahkan oleh Optimus
Prime. Selain cerita yang sangat sederhana itu, banyak karakter-karakter
tidak penting yang terus muncul di film ini. Contohnya, Simmons yang
diperankan oleh John Turturro tidak mempunyai peran yang penting dalam
segi cerita.
Overall,
|
Kungfu Panda 2
Setiap saat sebuah sekuel film sukses diumumkan akan segera ditayangkan
di bioskop-bioskop kesayangan, tentunya ada satu pertanyaan yang selalu
terungkit: apakah yang disuguhkan dalam film part 2 tersebut akan lebih
bagus, hampir sama, atau justru lebih jelek dari yang pertama? Bahkan
pastinya hal tersebut terbang dipikiran anda ketika sudah duduk dan
mulai menonton. Kung Fu Panda oleh Dreamworks pada tahun 2008
dengan sukses telah berhasil menangkap esensi sebuah film silat yang
tipikal namun dibungkus dengan humor dan cerita animasi yang menarik
baik untuk anak-anak maupun dewasa.
Keputusan oleh studio animasi DreamWorks SKG untuk merelis sebuah sekuel Kungfu Panda di musim Summer Blockbuster 2011
ini adalah pilihan yang tak lepas dari risiko tinggi. Sutradara baru
Jennifer Yuh yang belasan tahun lebih berpengalaman sebagai storyboard artist harus mencari strategi baru dalam menggarap visual dan cerita yang lebih dinamis untuk menyaingi, bahkan melebihi, Kungfu Panda pertama yang digarap oleh Mark Osborne dan John Stevenson. Hasilnya?
Kungfu Panda 2 dapat dibilang merupakan film animasi Blockbuster tersukses pada tahun 2011 ini!
|
|
Pada awalnya, keputusan Dreamworks untuk menyerahkan kursi panas sebagai pengarah kepada sutradara rookie Jennifer
Yuh yang belum berpengalaman cukup membuat para pengamat dan fans
gelisah. Namun, ternyata Jennifer Yuh adalah pilihan yang paling tepat
untuk menuntun Po (Jack Black) dan geng Furious Five ke dalam petualangan baru yang...
penuh dengan action yang seru, momen drama yang menyentuh, dan humor yang sangat menggelitik.
Tak hanya kepada Jennifer Yuh, pujian tentunya juga harus diberikan
kepada penulis naskah Jonathan Aibel dan Glenn Berger yang dengan
jeniusnya berhasil menyusun progesi cerita yang berjalan sangat natural
ditambah bumbu-bumbu kisah klasik silat Cina yang lebih kental.
Apabila diperbandingkan dengan instalasi originalnya, salah satu kemajuan yang terdapat dalam Kungfu Panda 2 adalah berkurangnya imej Jack Black yang... ya jujur aja sudah membosankan dan terbaca rutinitas kekonyolannya. Dalam Kungfu Panda 2 ini, Alhamdullilah bayangan
seorang komedian 'Jack Black' telah memudar dan menyatu dengan karakter
Po, sehingga selama durasi film ini tak pernah terpikirkan Jack Black
sebagai pengisi suara Po, namun Po adalah sebuah karakter yang nyata di
dunianya sendiri. >>>
|
Tentunya tak hanya Jack Black, Kungfu Panda 2 kembali menghadirkan deretan artis-artis kelas A untuk mengisi para jagoan the Furious Five seperti
Angelina Jolie sebagai Tigress, Seth Rogan sebagai Mantis, David Cross
sebagai Crane, Lucy Liu sebagai Viper, Jackie Chan sebagai Monkey, dan
Dustin Hoffman sebagai master Shifu.
Namun selama menonton mungkin banyak yang tidak sadar masih banyak artis
papan artis lainnya yang ikut serta kontribusi mengisi suara, seperti
aktris asal Malaysia Michelle Yeoh sebagai Soothsayer, Jean-Claude Van
Damme sebagai Master Croc, Dennis Haysbert sebagai Master Oxen, dan
Victor Garber sebagai Master Thundering Rhino.
Diluar casting original dan additional,
sebetulnya yang paling mengesankan diantara semua adalah Lord Shen yang
suaranya diisi dengan fantastis oleh aktor senior Gary Oldman. Suara
aktor yang juga pernah berperan sebagai Lt. Gordon dalam film The Dark Knight (2008)
ini telah berhasil menciptakan imej baru fenomenal untuk burung merak
yang tak pernah terbayangkan menjadi binatang antagonis yang jahat dan
penuh kedengkian.
|
Sekuel kisah Kungfu Panda dilanjutkan dengan sebuah adaptasi longgar
sejarah China tentang penemuan kembang api yang kemudian dikembangkan
dan disalahgunakan menjadi mesiu senjata api. Dalam instalasi ini, Po
sang Pendekar Naga dan geng Furious Five harus menyelamatkan
seluruh negara Cina dari kebangkitan ancaman baru. Lord Shen, pangeran
burung merak yang dibuang oleh orangtuanya sang Raja dan Ratu, telah
kembali dengan sebuah teknologi senjata baru yang mampu menghancurkan
kungfu dan menguasai seluruh Cina. Ketika Po dan Furious Five berhadapan
dengan Lord Shen tengah menjalankan misi untuk menghancurkan senjata
tersebut, Po mulai sadar bahwa Lord Shen mungkin mempunyai hubungan
dengan hilangnya ingatan Po mengenai masa kecilnya sebagai bagian kaum
Panda yang sudah punah. Perlahan-lahan serpihan ingatan Po tentang
dirinya dan orangtuanya muncul kembali sehingga ia pun mulai bertanya...
siapakah dirinya?
|
|
|
Kami tidak ingin lanjut memberikan bocoran untuk anda yang mungkin belum
sempat menontonnya, tapi kami peringatkan saja untuk siap-siap
mengalami sebuah momen emosional yang cukup berat. Bahkan untuk sesaat
dengan alur ceritanya yang sangat gelap dan berat serta munculnya
antagonis yang lebih sadis dibandingkan instalasi pertama, Kungfu Panda 2
terkesan tidak cocok untuk anak-anak yang masih dibawah umur 7 tahun.
Tentunya pilihan tersebut ada ditangan para orangtua.
Namun Untuk remaja 10 tahun keatas dan yang sudah dewasa, redaksi film
review cumicumi.com menjamin kalian akan menikmati suatu karya yang
seru dan mengasyikan serta terus membuat kalian tertawa.
|
Final Destination 5: Formula Terbaik
Ketika rumah produksi New Line Cinema mengabarkan akan merelis lagi suatu instalasi film Final Destination terbaru yaitu yang ke-5, salah satu reaksi yang sering didengarkan adalah...
"APA? FINAL DESTINATION BARU LAGI?"
Kami pun merasa heran, bahkan kagum, betapa beraninya New Line Cinema untuk terus lanjut memproduksi Final Destination setelah kegagalan yang dialami oleh Final Destination 3 (2006) dan Final Destination 4 (2009).
|
|
Plot film yang tidak jelas dan alur cerita yang mudah ditebak sempat membuat franchise film ini kehilangan fans yang sebelumnya sangat menikmati kesegaran yang disuguhkan oleh Final Destination pertama (2000) dan Final Destination 2 (2003).
Walau Final destination 4 sudah menggunakan teknologi 3D, namun banyak
fans yang merasa tidak puas dengan film yang hanya sekedar menompang
pada efek-efek death scene yang mengenaskan.
|
Lalu kenapa Final Destination 5 tetap di produksi dan masih banyak orang yang ingin menontonnya? Jawabannya hanya satu:
we love to watch people die in absurd conditions!
Apabila diperbandingkan dengan 4 instalasi sebelumnya, Final Destination
5 dapat dibilang sebagai kelanjutan yang berhasil mengangkat kembali
franchise ini. Plot ceritanya pun tidak kentang seperti biasanya.
|
Dalam franchise terbaru ini, Sam Lawton (Nicholas D'Agosto) bersama
kekasihnya Molly Harper (Emma Bell), dan beberapa penumpang lainnya
menaiki sebuah bus dalam acara company retreat menuju Vancouver-British
Island. di tengah perjalanannya yang harus melewati sebuah jembatan
gantung, Sam merasakan tanda-tanda bahwa jembatan tersebut akan rutuh.
Ketika hal tersebut benar terjadi, ia mencoba mengajak kekasihnya dan
rekan-rekannya untuk melarikan diri. Namun banyak yang gagal untuk lolos
dari kemautan, dan secara detail ia melihat rekan-rekannya
mati dengan cara yang sangat mengenaskan. Ketika ia menghadapi maut di
detik-detik akhirnya, ternyata (seperti formula Final Destination sebelumnya)
hal itu hanya terjadi di pikiran Sam dalam bentuk suatu visi. Namun
karena Sam tidak mau merusak acara liburannya, dia akhirnya memilih diam
dan mengontrol dirinya, hingga pada akhirnya apa yang dirasakan oleh
Sam benar terjadi. Namun berkatnya visinya, ia berhasil menyelamatkan 8
orang termasuk dirinya sendiri.
Lalu apa yang terjadi berikutnya pada mereka? Tentu kalian sudah bisa
menebaknya lah yah. Ketika di awal mereka merasakan syukur mereka dapat
selamat dari runtuhnya jembatan, satu per satu dari 8 orang yang selamat
tersebut mengalami kecelakaan maut yang merenggut nyawa mereka. Untuk
mencegah dikejar oleh maut, mereka harus mencari cara untuk mengalahkan
sang dewa kematian yang terus mengejar mereka. Untuk kelanjutannya, kami
sarankan kalian untuk menonton saja. Jangan terlalu pesimis dulu karena
sudah mengenal sekali formula film Final Destination, karena di akhir film ini terdapat suatu kejutan yang yang patut diberikan ajungan jempol!
|
Twilight Saga: Breaking Dawn Part 1
Franchise film 'The Twilight Saga' yang beberapa tahun ini sangat digemari oleh para kalangan anak muda (red: moga-moga hanya wanita saja yah) kini sudah mencapai instalasi terakhirnya yaitu 'Breaking Dawn.' Namun, film ke-empat ini bukanlah yang terakhir, karena adatapsi layar lebar dari salah satu buku bestseller karya Stephenie Meyer ini telah dibagikan menjadi dua bagian: Part 1 dan Part 2, dikarenakan ceritanya yang cukup panjang dalam format originalnya.
Konsep pembagian ini memang sangat familiar karena sudah pernah diterapkan dalam instalasi terakhir franchise 'Harry Potter,' dan bagimana hasilnya? 'Harry Potter' telah berhasil menyuguhkan sebuah finale mengagumkan yang sangat memuaskan untuk para fansnya. Dengan tema yang lebih melodramatis dan tentunya fans yang sangat segmented, dapatkah 'The Twilight Saga: Breaking Dawn' menyuguhkan suatu finale yang juga spektakuler?
|
|
Sebelum ulasan ini berlangsung lebih lanjut, alangkah pentingnya untuk mengklarifikasi terlebih dahulu bahwa:
1. walau ulasan ini tampak berat sebelah menjatuhkan 'Breaking Dawn Part 1' sebagai film yang tidak layak untuk dipertontonkan, namun segala faktor positif dan negatif tentang franchise 'Twilight
Saga' selalu dipertimbangkan dengan baik dan adil. Karena jujur saja,
walau berat hati, namun kami sudah menyempatkan diri untuk menonton
semua instalasi 'Twilight Saga' yang pernah ada.
|
2. Walau kami merasa konsep vampir dalam 'Twilight Saga' ini
sedikit menoda dan merusak imej vampir yang selama ratusan tahun
digambarkan sebagai makhluk terkutuk yang buas dan tiada ampun, kami
masih bisa menerima bahwa ada kemungkinan kecil (red: sangat kecil!) vampir itu memang bergemerlap cantik apabila terkena cahaya matahari. Thumbs up shiny Edward!
3. Seburuk apapun anggapan kami tentang acting performance yang
dilagakan oleh semua pemeran film ini, kami masih bisa mengerti kenapa
film ini sangat nge-hits sekali di kalangan anak muda, terutama wanita.
Kalau laki-laki yang ngefans, kami angkat tangan dan tidak mau mengerti.
|
'Breaking Dawn Part 1' ini dengan eksklusif mengangkat
perkawinan Bella Swan (Kristen Stewart) dengan kekasih vampirnya Edward
Cullen (Robert Pattinson) hingga pada akhirnya melepaskan keperawanannya
dalam honeymoon mereka di Brazil. Namun, perkawinan mereka
yang seharusnya membawakan kebahagian justru menjadi suatu malapetaka
ketika Bella mulai menyadari kehamilannya. Dan kemudian... kami tidak
mampu untuk lebih panjang menjelaskannya karena tidak sanggup duduk diam
menyaksikan cerita yang sedikit bertele-tele dan dialog yang
membosankan dan menyayat nadi dengan melodrama yang berlebihan.
Tentunya, part 1 mempunyai alur yang akhirnya mengantar kepada part 2 yang
akan lebih menyuguhkan aksi peperangan antara vampir dan werewolf.
Namun, dengan durasi yang cukup panjang yaitu hampir 2 jam, pertanyaan
yang terus terpikirkan adalah:
mengapa 'Breaking Dawn' harus dibagikan menjadi 2 bagian?
Overall, Breaking Dawn Part 1 tetap mempunyai faktor-faktor
yang hampir sama dengan instalasi sebelum-sebelumnya, dan yang paling
menyakitkan adalah melihat akting buruk dari para pemerannya, terutama
Kristen Stewart sebagai Bella yang tak berubah erlihat hanya 1 dimensi.
Setidaknya dalam film ini Jacob (Taylor Lautner) mempunyai alasan yang
kuat untuk bertelanjang dada dibanding instalasi-instalasi sebelumnya.
Sepertinya satu-satunya cara untuk menikmati Twilight Saga hanyalah
dengan membaca bukunya terdahulu, lalu kemudian memperbandingkan
perbedaan diantara dua format tersebut. Bagi mereka yang tidak mengikuti
bukunya, sekilas akting buruk dan adegan-adegan yang tidak penting
dalam film ini terkesan seperti parodi tersendiri tentang buku
tersebut. Sorry Twilight fans, don't mean to sound cruel.
|
Sang Penari Bicara Jujur Tentang Budaya
Alangkah indahnya apabila sebuah film dapat mencerminkan budaya
Indonesia dengan apa adanya tanpa membesar-besarkan atau
melebih-lebihkan dari realita sebenarnya. Terkadang, karena faktor ingin
menumbuhkan rasa nasionalisme kepada penontonnya, sebuah karya film
terkadang dibuat menjadi semacam propoganda yang menyembunyikan realita.
Padahal pada sesungguhnya, sebuah bangsa itu tentunya pasti ada
kelebihan dan kekurangannya dalam segi apapun, baik secara sistem
politik nasional, strata masyarakat, maupun budaya yang sudah ratusan
tahun kita pegang.
Itulah yang patut dihargai dari film "SANG PENARI"
garapan sutradara Ifa Isfansyah yang diangkat dari novel "Ronggeng Dukuh
Paruk" karya Ahmad Tohari. Adaptasi ini tentunya sangat patut dihargai
karena keputusan sang sutradara bersama penulis skenario Salman Aristo
dan produser Shanty
Harmayn memmerlukan keberanian yang tinggi. Tak hanya itu, film ini
telah digarap dengan sangat teliti dan hati-hati karena telah
menghabiskan waktu sekitar 3 tahun untuk penyelesaiannya. Hasilnya?
Sangat sesuai ekspetasi yang diharapkan.
|
|
|
|
"Sang Penari" pada dasarnya menceritakan kisah yang tidak jauh berbeda
dari cerita-cerita lain, yaitu sebuah kisah cinta. Namun perbedaannya,
kisah cinta dalam film ini dibalut dengan latar etnik yang kental dan
situasi politik panas yang mengguncang tanah air di era tahun 60an.
Terjadi di Kampung duku Paruk, sebuah kisah cinta telah terjain antara seorang pemuda bernama Rasus (Oka Antara) dengan gadis cantik bernama Srintil (Prisia Nasution).
Sejak kecil mereka selalu bermain berdua dan melakukan segala kegiatan
bersama-sama sehingga Rasus pun selalu berpikir bahwa Srintil adalah
takdir belahan hatinya.
Namun sayangnya, walau Srintil juga mempunyai perasaan yang sama
terhadap Rasus, namun ia mempunyai cita-cita yang tentunya akan
menghalang hubungan mereka. Sejak kecil Srintil selalu mendabakan
menjadi Ronggeng karena kegemarannya dalam menari.>>>
|
Bahkan, warga kampung pun percaya bahwa dirinya adalah sosok 'titisan
ronggeng' dan keputusannya ada di tangan Kertaredja (Slamet Rahardjo).
Namun Srintil pun juga tidak sepenuh mengerti bahwa menjadi Ronggeng itu
berarti dia adalah milik masyarakat, dalam arti, ia harus memberikan
jiwa dan raganya untuk kampung, termasuk tubuhnya.
Kecewa dengan keputusan Srintil, Rasus memutuskan untuk meninggalkan kampung dan diangkat menjadi tentara oleh Sersan Binsar (Tio Pakusadewo).
Seiring waktu, dengan Srintil yang mulai termakan dengan profesi
mulianya, dan Rasus semakin serius menjadi tentara negara, revolusi
merah mulai menyebar sampai kampung Dukuh Paruk, dimana para warga
termasuk Srintil dilanda nasib buruk karena keluguan mereka.
|
Sinematografi yang indah mendampingi
alur cerita yang berat namun bermakna dalam film "Sang Penari" ini.
Apalagi ditambah dengan kualitas akting yang mengagumkan dari kedua
pemeran utama PRisia Nasution dan Okan Antara, film yang terkesan vulgar
dan jujur ini merupakan suatu karya seni yang wajib disaksikan oleh
seluruh masyarakat Indonesia. Selain membahas budaya yang sangat
bertolak belakang dengan standar norma yang dipegang masyarakat kini,
"Sang Penari" juga dengan berani mengangkat sejarah G30S-PKI dimana
tentara nasional tanpa bulu mata mengeksekusi ribuan warga Indonesia
karena diduga terlibat dengan partai PKI.
|
Shark Night 3D Terlalu Biasa
Setelah melihat cuplikan dari trailer ini, tentunya dengan mudah dapat ditebak seperti apakah premi yang disuguhkan dalam film 'Shark Night 3D' garapan sutradara David R. Ellis yang juga pernah menggarap Snakes On A Plane (2006, Samuel L. Jackson) dan Final Destination 2 (2003, A.J Cook). Kisah film ini memang tidak jauh berbeda dengan film-film animal attack lainnya seperti Jaws (1975) dan Piranha 3D (2010). Lalu, bagimanakah film ini apabila diperbandingkan dengan film sejenis lainnya?
"Terror Runs Deep"
|
|
Kisah 'Shark Night 3D' mengikuti
sekelompok tujuh mahasiswa yang tengah letih dan muak dengan
tekanan-tekanan tugas kuliah yang tak hentinya terus membebani mereka,
sehingga pada akhirnya Sara (Sara Paxton, The Last House On The Left)
memutuskan untuk mengajak mereka ramai-ramai pergi berliburan di sebuah
kabin tengah danau milik keluarnya dimana ia tumbuh besar disana. Di
wilayah tersebut Sara tidak sengaja bertemu dengan sejumlah sosok warga
setempat kampungan dan menyebalkan yang ia kenal namun tidak ingin dibahas dengan teman-teman kuliahnya. >>>
|
Setiba di kabin tentunya mereka
sudah lupa dengan segala beban kehidupan dan mulai bersantai menikmati
liburan mereka. Awalnya, mereka hanya terganggu dengan buruknya resepsi
signal handphone disana, namun liburan yang seharusnya menyenangkan
berubah menjadi mimpi terburuk ketika teman mereka Malik (Sinqua Walls)
ditengah bermain wakeboard tiba-tiba kehilangan lengannya... kemana? Of course dimakan oleh sekor ikan hiu. Tidak lama setelah itu Maya (Alyssa Diaz) sang kekasih malik pun juga hampir termakan oleh hiu.
|
Cukup menarik tentunya melihat konsep thriller yang unik yang
menempatkan ikan hiu di sebuah tempat yang tidak wajar seperti danau.
Tentunya, akan muncul pertanyaan seperti: bagaimana caranya ikan hiu
bisa nyasar di sebuah danau? dan apakah hal itu memang mungkin terjadi?
Sayangnya...
pertanyaan krusial yang tentunya akan terbenak di pikiran tidak akan terjawab sama sekali di akhir film ini.
Maka dengan itu strategi yang paling penting untuk menikmati film ini
adalah untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal penting seperti tersebut, and just go with the flow and enjoy the bloody deaths!
Bagi kamu yang berharap untuk menyaksikan adegan-adegan berdarah yang
brutal tentunya tidak akan terlalu mengecewakan, apalagi di dukung
dengan teknologi 3D. namun sayangnya, karena serangan lebih sering
terjadi di malam hari (red: namanya juga Shark NIGHT gitu loh) dan film ini di sensor untuk batas umur 13 tahun ketas, maka adegan-adegan kematian mengenaskan pun digarap dengan cukup mellow.
|
|
|
Sebetulnya apabila diperhatikan dengan baik-baik, Shark Night 3D ini
tidak sepenuhnya bergantung pada alur cerita penyerangan ikan hiu,
bahkan dapat dibilang hanya sebagai backdrop untuk kisah
utamanya. Konflik utama dalam film ini sebetulnya berporos pada konflik
antara karakter dan kehidupan Sara. Walau kisah Sara tetap mempunyai
plot yang sangat tipis, namun protagonis utama dalam Shark Night 3D ini
sebenarnya adalah para warga setempat yang mengenal Sara. Selain itu,
film seperti ini tentunya mempunyai stereotip yang cukup cliché di dunia
perfilman: the jock, the slut, the douche, the nerd, and the weirdo.
Disarankan hanya untuk menyaksikan film ini sebagai hiburan ringan,
apalagi dengan adanya si seksi Katharine McPhee yang membuat kalian para
lelaki menggiur melihat keindahan tubuhnya memakai bikini. Semoga tidak
ada yang jantungan yah, walau sebenarnya film ini tidak terlalu seram
juga kok.
|
'Ghost Protocol' Mission Impossible Terbaik
Selama 45 tahun masyarakat televisi dan perfilman sudah mengenal lama dengan franchise 'Mission: Impossible' (M:I)
yang selalu menyuguhkan cerita-cerita espionase dan action yang
menegangkan mulai dari format acara televisi sampai akhirnya di adaptasi
ke layar lebar. Namun, walau selama ini selalu digarap oleh sutradara
yang mempunyai pengalaman tinggi dalam menggarap film aksi seperti Brian
Del Palma di instalasi pertama, John Woo di instalasi kedua, dan J.J.
Abrams di instalasi ketiga, sejauh ini 'Mission: Impossible' versi
layar lebar selalu mempunyai kekurangan yang tidak bisa sepenuhnya
memuaskan para penontonnya, entah dari alur cerita yang terlalu kompleks
hingga tidak mudah untuk di ikuti, sekuensi aksinya yang terlalu lebay,
atau terlalu mengekspose 'ketenaran' Tom Cruise. Di instalasi
terbaru...
'Mission Impossible:
Ghost Protocol'
akhirnya franchise M:I telah berhasil memberikan suatu film
action yang dapat dinikmati segala kalangan penonton. Bahkan, para
pengulas film seluruh dunia menobatkan 'Ghost Protocol' sebagai film M:I terbaik sejauh ini.
|
|
Terobosan ini tentunya adalah berkat garapan yang segar dan stylish oleh sutradara Brian Bird. Padahal, sebetulnya Bird kurang punya pengalaman banyak dalam membuat film live-action dibandingkan
dengan sutradara-sutradara M:I sebelumnya, dan ia justru lebih dikenal
sebagai sutradara handal yang bertanggung jawab atas kesuksesan sejumlah
film animasi seperti 'Ratatouille' (2007, dibintangi Patton Oswalt), 'The Incredibles' (2004, dibintangi Craig T. Nelson), dan 'The Iron Giant' (1999, dibintangi Jennifer Aniston).
Namun, dalam instalasi M:I yang ke-4 ini, Bird telah berhasil
menggambarkan esensi krusial yang selama ini tidak pernah lepas dari
imej M:I versi televisi original namun sering dilupakan oleh versi layar
lebar, yaitu pentingnya kerjasama tim yang menentukan keberhasilan
misi. Bird pun juga tidak lupa untuk membaurkan unsur-unsur komedi yang
sering ia terapkan dalam adegan aksi di film animasi 'The Incredibles'.
Tentunya, franchise M:I layar lebar sejak instalasi pertama
tidak pernah lepas dengan sosok Tom Cruise sebagai pemeran utama. Walau
mungkin sejumlah penonton sudah mulai bosan dengan wajah Cruise yang
sudah terlalu sering tampil di layar lebar maupun televisi, ditambah
dengan tingkah-lakunya yang eksentrik, namun konsistensi perannya
sebagai Ethan Hunt patut dihargai.
|
Dibandingkan dengan instalasi M:I sebelumnya, dalam 'Ghost Protocol' untungnya Cruise tidak terlalu mencolok mencuri seluruh perhatian, namun justru berbagi screen-time dengan mengeksplorasi asal-usul anggota tim barunya yang terdiri dari Brendt yang diperankan Jeremy Renner (Hurtlocker, 2008), Benji yang diperankan Simon Pegg (Hot Fuzz, 2007), dan Jane yang diperankan Paula Patton (Precious, 2009).
Simmon Pegg sebagai Benji
Bahkan, dibanding Tom Cruise yang memang mempunyai nama tenar sebagai seorang superstar, the star of this movie justru
adalah Simmon Pegg sebagai Benji sang teknisi yang selalu bersikap
konyol dan mengundang tawa di tengah-tengah ketegangan adegan action. Selain Pegg, Jeremy Renner juga berhasil mencuri perhatian sebagai Brednt agent baru IMF (Impossible Mission Force) yang mungkin dapat menjadi karakter utama di film M:I berikutnya.
|
Dalam segi cerita, sebetulnya 'Ghost Protocol' tidak mempunyai plot yang terlalu berbeda maupun unik, dan tidak terlalu banyak conspiracy theory rumit
yang harus dibongkar dalam film ini, namun kelebihannya memang adalah
ceritanya yang simple namun penuh dengan bumbu sekuensi action-nya yang terus menghantam dari awal sampai akhir film.
Dengan latar belakang hubungan kompleks Amerika Serikat dan Russia yang
terus terjadi, Ethan Hunt dan tim-nya harus menghentikan seorang ilmuwan
gila asal Russia yang berencana untuk membajak persenjataan nuklir
Russia untuk memulai era peperangan yang baru. Tentunya hal ini tidak
mudah untuk Hunt, terutama ia belum terbiasa dengan tim barunya - Jane
yang mempunyai misi dendam pribadi, Benji yang masih baru sebagai agen
lapangan, dan Brendt yang diduga hanya seorang asisten menteri tapi
sebetulnya mempunyai latar belakang militer. Berempat mereka harus
segera terbiasa bekerja sama untuk mencegah meluncurnya nuklir yang
mungkin akan memicu skala perang yang besar antara kedua negara superpower ini.
|
|
Diluar ceritanya, tentunya yang paling penting dalam M:I adalah adegan action-nya yang dapat membuat mata penonton melotot terheran-heran. Dalam 'Ghost Protocol', dijamin action-nya tidak akan mengecewakan para penonton yang memang haus dengan laga-laga yang memompa adrenalin ke jantung.
Salah satu adegan yang memang ditunggu-tunggu dalam instalasi ini adalah stunt action Tom Cruise yang memanjat salah satu gedung pencakar langit tertinggi di dunia yaitu Burj Khalifa di
Dubai, United Arab Emirates. Diambil dengan berbagai sudut kamera yang
tepat, sang sutradara Bird berhasil menangkap betapa tegangnya menjadi
seorang agent Ethan Hunt yang harus berhasil memanjat gedung di
ketinggian luar biasa.
Selain stunt ini, memang yang membedakan 'Ghost Protocol' dengan
instalasi sebelumnya, maupun film-film action lainnya, adalah
koreografi stunt yang tidak terlalu lebay dan masih bisa dipercaya dapat
benar-benar terjadi.
|
Tom Cruise memanjat Burj Khalifa
'Mission Impossible: Ghost Protocol' adalah
the best Mission: Impossible film ever made, dan bagi kalian yang sudah
pesimis terlebih dahulu sebelum benar-benar menyempatkan diri untuk
duduk menonton film ini, kasian deh loe pikirannya negatif aja! Because this movie is great, entertaining, and by far thrilling!
|
Hafalan Shalat Delisa : Belajar Dari Bocah 6 Tahun
Akhirnya muncul juga sebuah film yang bisa membuat kamu sadar meski
penyesalan itu selalu datang terlambat. Sebuah film karya Sony Gaokasak
dibawah naungan PT. KHARISMA STARVISION PLUS membuat airmata
kamu bakal berguguran jatuh menetes di pipi ketika melihatnya. Sebuah
karya yang bisa mengingatkan kenangan indahmu bersama sang ibu dimana
wanita yang telah melahirkan kamu ke dunia telah tenang berada di Surga.
Sungguh-sungguh memilukan. Usut punya usut, film yang akan tayang di bioskop Indonesia pada 22 Desember mendatang itu diadaptasi dari sebuah novel karya Tere-Liye. Novel berjudul HAFALAN SHALAT DELISA yang terbit pertama kali pada tahun 2005 sudah memasuki cetakan keempat dua tahun setelah terbit. Dan mungkin saja saat ini masih banyak pembaca novel yang mengincar seiring dengan pemutaran film tersebut di layar lebar.
Mengambil setting peristiwa Tsunami di Aceh, buku ini penuh dengan
konflik di setiap bagian. Diawali dengan cerita tentang keluarga kecil
di Lhok Nga, keluarga Usman. Ummi, Cut Fatimah, Cut Zahra, Cut Aisyah,
dan si bungsu Delisa yang merupakan tokoh sentral di novel ini. Drama
kehidupan sosial masyarakat Aceh pun dimulai. Religius, sederhana dan
tenang. Sampai akhirnya peristiwa Tsunami terjadi, meliukkan tarian
kematian, mengubah mimpi jadi tangisan.Itu baru cerita novel. Bagaimana
dengan filmnya sendiri? Tentu nggak kalah bagus dan sangat menyayat hati
lantaran bisa kita nikmati secara visual.
|
|
Delisa (Chantiq Schagerl) gadis
kecil yang periang, tinggal di Lhok Nga desa kecil di pantai Aceh,
mempunyai hidup yang indah. Sebagai anak bungsu dari keluarga Abi Usman (Reza Rahardian),
ayahnya bertugas di sebuah kapal tanker perusahaan minyak
Internasional. Delisa sangat dekat dengan ibunya yang dia panggil Ummi (Nirina Zubir),
serta ketiga kakaknya yaitu Fatimah (Ghina Salsabila), dan si kembar
Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi).
Pada suatu hari, Delisa mendapatkan tugas dari gurunya, Ibu Guru Nur,
untuk menghafal bacaan shalat. Ummi Delisa memberikan motivasi sekaligus
imbalan hadiah kalung jika ia berhasil untuk menghafal bacaan shalat
tersebut.
Kalung berinisial ‘D’ yang berarti Delisa
Tekadnya yang kuat dibantu oleh kakak-kakanya serta Pak Ustadz Rahman,
guru TPA Delisa. Ia bertekad harus lancar saat praktik bacaan shalat di
depan Ibu Guru Nur dan teman-temannya. Shalat yang sempurna baginya
untuk pertama kali.
|
|
26 Desember 2004, Delisa bersama Ummi sedang bersiap menuju ujian
praktek shalat ketika tiba-tiba terjadi gempa yang cukup membuat ibu dan
kakak-kakak Delisa ketakutan.
Tiba-tiba tsunami menghantam, menggulung desa kecil mereka, menggulung
sekolah mereka, dan menggulung tubuh kecil Delisa serta ratusan ribu
lainnya di Aceh serta berbagai pelosok pantai di Asia Tenggara.
Delisa berhasil diselamatkan Prajurit Smith, setelah berhari-hari
pingsan di cadas bukit. Sayangnya luka parah membuat kaki kanan Delisa
harus diamputasi. Penderitaan Delisa menarik iba banyak orang.Prajurit
Smith sempat ingin mengadopsi Delisa bila dia sebatang kara, tapi Abi
Usman berhasil menemukan Delisa. >>>
|
elisa bahagia berkumpul lagi dengan ayahnya, walaupun sedih mendengar
kabar ketiga kakaknya telah pergi ke surga, dan Ummi belum ketahuan ada
di mana.
Delisa bangkit, di tengah rasa sedih akibat kehilangan, di tengah rasa
putus asa yang mendera Abi Usman dan juga orang-orang Aceh lainnya,
Delisa telah menjadi malaikat kecil yang membagikan tawa di setiap
kehadirannya.
Walaupun terasa berat, Delisa telah mengajarkan bagaimana kesedihan bisa
menjadi kekuatan untuk tetap bertahan. Walau airmata rasanya tak ingin
berhenti mengalir, tapi Delisa mencoba memahami apa itu ikhlas,
mengerjakan sesuatu tanpa mengharap balasan.
|
"Delisa cinta Ummi karena Allah"
Kalimat tersebut pernah diucapkan
Delisa di depan Umminya. Dan untuk kedua kalinya, bocah 6 tahun itu
mengucapkan kalimat itu lagi dan mengganti kata Ummi menjadi Abi. Abi
Usman yang sempat kehilangan arah mendadak berurai airmata mendengar
ucapan bungsunya. Ucapan Delisa yang semakin membuatnya tegar dan tak
pernah mengeluh meski harus berjalan tanpa dua kaki. Akhir cerita,
Delisa yang sempurna membaca bacaan shalat untuk pertama kalinya
mendapatkan sebuah hadiah dari Allah, hadiah yang tak bisa dinilai
dengan apapun dan seolah mengobati rasa rindunya yang mendalam pada
Ummi. Ia menemukan jasad (tulang belulang) bundanya yang selama ini
hilang akibat tsunami dalam keadaan memegang kalung yang akan
dihadiahkan padanya itu.
|
'Sherlock Holmes: A Game Of Shadow' Kurang Misterius
Pada tahun 2009, sutradara Guy Richie telah berhasil mengejutkan dunia dengan adaptasi kisah detektif 'Sherlock Holmes'
karya penulis Conan Doyle dengan sebuah interpretasi yang lebih hip,
humoris, dan kontemporer untuk pemirsa jaman kini. Daripada
menggambarkan jaman Victorian tersebut secara konvensional yang
biasanya terkesan membosankan dan serba pelan, Guy Ritchie memberi
sentuhan visualisasi yang sangat modern untuk sebuah kisah jaman abad
19.
Namun, keberhasilan tersebut tentunya tidak juga lepas dari akting
fenomenal ala Robert Downey Jr. sebagai sang detektif Sherlock Holmes
dan juga Jude Law sebagai sahabat serta juga asistennya, Dr. John
Watson. Apabila selama ini Sherlock Holmes memang lebih lekat dengan
gambaran tradisional seorang 'englishman' yang bersikap baku,
dewasa, dan cerdas, Robert Downey Jr. telah berhasil menghidupkan
interpretasi baru sang detektif sebagai seorang jenius yang tak
terkendalikan dan bersikap kekanak-kanakan. Bertolak belakang, Dr.
Watson adalah sosok yang harus menjaga kewarasan Holmes (red: dan juga kewarasan dirinya sendiri) dari ide-idenya yang brillian namun berbahaya, dan karakter tersebut diperankan dengan baik oleh Jude Law.
"If we can stop him, we shall prevent the collapse of Western civilization... No pressure" - Holmes
|
|
Dr. Watson dan Sherlock Holmes
Keberhasilan seperti tersebut tentunya akan mendorong para produser
serta sutradara Guy Ritchie untuk terus melanjutkan kisah Sherlock
Holmes menjadi sebuah sekuel, terutama dengan belum terungkapnya sosok
Moriarty (Jared Harris, Lady in the Water) yang identitasnya
masih disembunyikan di film pertama. Namun pada umumnya, sebuah sekuel
memang sangat sulit untuk menyaingi atau bahkan melebihi kesuksesan film
sebelumnya, dan sayangnya, 'Sherlock Holmes: A Game Of Shadows' juga mengalami kegagalan tersebut.
Masalah utamanya bukanlah karena penggarapannya yang kurang bagus, namun
karena sekuel ini mempunyai formula yang terlalu sama dengan film
pertama hingga tidak mempunyai nilai lebih tersendiri yang membedakan
dengan debut tahun 2009. Walau tetap mempunyai unsur dialog dan akal
penuh kecerdasan yang cukup menghibur, tetapi plot ceritanya sebagai
kisah detektif kurang menyuguhkan misteri dan suspense yang menantang
untuk pemirsanya. >>>
|
Sinopsis
Ceritanya langsung menyambung dari film pertama dimana Sherlock Holmes terlihat semakin termakan dengan rasa penasarannya akan jaringan kejahatan yang dipimpin oleh Moriarty. Padahal, sang sahabat Dr. Watson sudah matang untuk meninggalkan dunia detektif agar dapat hidup tenang setelah menikahi kekasihnya, Mary (Kelly Reilly). Watson sangat ingin Holmes untuk siap mendampinginya sebagai best man di hari pernikahannya, namun obsesi Holmes untuk membongkar dan menghancurkan kejahatan Moriarty justru terus melibatkan mereka ke dalam sejumlah situasi yang berbahaya. Moriarty dan Holmes berhadapan
Walaupun dengan bantuan Mycroft (Stephen Fry) sang saudara Sherlock
ataupun oleh Madam Simza Heron (Noomi Rapace), Moriarty selalu bisa
mendahului mereka dua langkah di depan. Bagaimanakah Sherlock Holmes
dapat mengalahkan Moriarty?
|
Kalau masih penasaran dengan kelanjutan kisah Sherlock Holmes dalam
mencari dan mengalahkan sang rival Moriarty, tentunya film ini harus
disimak dengan baik. Namun, jangan terlalu banyak berharap untuk
mendapatkan kejutan yang spektakuler, karena 'Sherlock Holmes: A Game Of
Shadows' kurang menyuguhkan kisah misteri detektif yang selayaknya
|
'Rango' Sheriff Bunglon Dari Barat
RANGO, adalah sebuah film hasil kerjasama antara sutradara trilogi megablockbuster, The Pirates of Carribean, dan ILM (Industrial Light & Magic) --pemasok efek-efek dahsyat dalam beberapa film besar—untuk kesekian kalinya pasca film berteknologi CGI, The Curse of The Black Pearl. Meskipun
begitu, ini merupakan pertama kalinya Gore Verbinski menggarap film
animasi, begitu pula dengan IML. Tetapi jika kita melihat track record dari
keberhasilan mereka dalam menggarap sebuah film, tidak diragukan lagi,
Rango akan menjadi film animasi berteknologi CGI dengan cerita dan efek
yang menawan. Ditambah dengan aktor yang ikut meramaikan film tersebut
bisa dikatakan merupakan aktor-aktor “kelas kakap”, sebut saja Johnny
Depp, Isla Fisher, Alfred Molina, Abigail Breslin, Bill Nighy, dan
Timothy Olyphant. Rango merupakan film yang sangat direkomendasikan.
“The name’s Rango” - Rango
|
|
Sinopsis
Cerita berawal ketika seekor bunglon peliharaan bernama Lars(Johnny
Depp) sedang berakting dengan “teman-temannya” dalam sebuah terrarium.
Lalu segalanya berubah ketika mobil yang mengangkut terrarium Lars
melindas seekor Trenggiling. Mobil berguncang hebat, dan terrarium
tersebut terpental dan hancur berkeping-keping di aspal panas. Lars
mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Ia berdiri di tengah jalan
raya di tengah-tengah padang pasir Mojave, Las Vegas.
Atas saran seekor trenggiling, Lars yang merasa sangat kehausan harus
mengarungi gurun pasir yang terik untuk mencapai kota yang bernama Dirt.
Ditengah perjalanan, ia bertemu dengan Beans(Isla Fisher), seekor
iguana betina yang menemaninya sampai ke kota Dirt.
|
Di kota tersebut kisah Rango dimulai, dimana Lars mengaku bernama Rango
yang berhasil mengalahkan Perampok 7 bersaudara hanya dengan satu
peluru dan mengaku sebagai saudara dari Rattlesnake Jack(Bill Nighy),
seekor ular yang paling ditakuti di kota Dirt. Setelah secara tidak sengaja berhasil membunuh seekor elang yang selama ini meneror Dirt, Rango/Lars diangkat menjadi sheriff Dirt. Aksi Rango tidak berhenti sampai di situ, dimana ia harus menyelamatkan Dirt dari krisis air bersih sekaligus mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai seorang Sheriff. About The Movie Cerita yang disuguhkan dalam Rango sendiri sebenarnya terbilang ringan. Tetapi dari segi bahasa dan tokoh-tokoh yang terdapat dalam film tersebut sepertinya memang tidak ditujukan untuk anak-anak. Tokoh-tokoh dalam film Rango berbeda dari Tokoh di kebanyakan film animasi lain yang penuh warna dan begitu ceria. Namun dari segi efek dan kecanggihan teknologi CGI, film ini tidak kalah dari film-film animasi manapun. |
Pride & Prejudice : Ketika Cinta Bukan Asmara
Pemain utamanya, cantik dan tampan. Isi ceritanya, romantika asmara. Itulah gambaran awal film Pride & Prejudice.
Dengan kombinasi tadi, maka tak salah jika terbayang bakal ada adegan
mesra atau setidaknya peluk cium, layaknya film sejenis. Tapi sutradara
Joe Wright, benar-benar mengacaukan imajinasi penikmat film cinta.
Keputusannya memasang Keira Knightley, adalah bukti kecerdasan Joe,
khususnya dalam mengacaukan otak kotor pria.
Saat
itu, apa yang dilakukan Jane, jelas sangat luar biasa sekaligus
menentang arus zaman. Jane Austen meninggal pada 18 Juli 1817 di
Winchester dan dikebumikan enam hari kemudian di Katedral Winchester.
Ia wafat di usia 42 tahun, dengan meninggalkan satu karya yang belum
rampung, The Watsons. Di era milineum ini, Jane seolah hidup
lagi. Film Pride & Prejudice, ibarat jembatan penyambung zaman,
antara Jane dan kaumnya. Dengan tujuan, agar wanita memiliki martabat
hidup. Jadi, tak ada salahnya menonton film ini lagi. Agar pria dan
wanita, semakin tahu akan arti cinta, kesetaraan dan cara bersikap.
Dan, bukan menghamba pada asmara yang menghunus syahwat belaka
Siapa yang tak kenal Keira Knightley? Dia adalah bintang film seksi,
yang tubuh aduhainya masuk peringkat wanita cantik dan seksi di nomor
urut 6 ( versi Majalah Maxim). Ulah ugal-ugalan Knightley berfoto
telanjang, di Majalah Vanity Fair, menjadi pijakan awal, bahwa film ini
akan beraroma liar merangsang
Tapi anggapan itu terpatahkan di film ‘Pride & Prejudice’. Karena
film ini benar-benar ‘bersih’, tak ada adegan berciuman apalagi lanjut
ke pembaringan. Tak ada itu, nihil. Lantas, apa artinya kehadiran
bintang seks di film ini? Jawabnya, adalah kejutan.
Pertama, kejutan buat penonton ( khususnya pria), bahwa Knightley tak
memunculkan tubuh seksinya secuil pun. Karena sepanjang aktingnya di
film ini, ia mengenakan busana panjang, ala gadis Inggris di abad 20.
Kedua, kejutan buat Knightley sendiri. Karena perannya sebagai Elizabeth
Bennet di film ini, membawanya masuk nominasi Piala Oscar, sebagai
aktris terbaik di tahun 2005. Sebagai catatan berikutnya.
Sejak membintangi film ‘bersih’ ini, akting Knightley dibandrol mahal.
Majalah Forbes di tahun 2008, memasukkan nama Knightley sebagai salah
satu artis termahal, dengan pendapatan 32 juta dollar Amerika Serikat .
Forbes mendudukkan Knightley di urutan kedua, artis Hollywood dengan
honor tinggi.
Kisah Darcy dan Lizzi
Film berseting abad pertengahan ini, berkisah tentang Elizabeth Bennet
atau Lizzi (Knightley), seorang wanita dari keluarga kelas menengah
yang tinggal di sebuah desa kecil di Inggris. Lizzi berbeda dengan
gadis-gadis lain di masa lampau, yang lemah lembut dan penurut.
Sebaliknya, di era zaman bangsawan Inggris itu, Lizzi muncul dengan
tabiat keras dan berpendirian kuat. Di sebuah pesta dansa, ia bertemu
pemuda bangsawan bernama Fitzwilliam Darcy (Matthew Macfadyen) seorang
pemuda yang dingin dan kaku, sama kerasnya seperti Lizzi.
Sejak pertama kali bertemu, mereka pasang sikap dingin satu sama lain,
namun akhirnya saling jatuh cinta. Tapi anehnya, mereka sama-sama
mencoba mengingkari kenyataan tersebut.
Lizzi menganggap Darcy, layaknya pria dari kalangan bangsawan Inggris,
yang selalu merendahkan perempuan dari kalangan menengah. Sikap acuh
Dracy, makin menguatkan anggapan Lizzi tentang hal itu.
Sementara Darcy yang jelas-jelas jatuh cinta kepada Lizzi sejak pertama
kali bertemu, malah pasang muka sombong. Ia beranggapan Lizzi sebagai
perempuan materialistis, layaknya wanita kelas menengah lainnya.>>>
|
Daya tarik lain dari film ini adalah soundtrack-nya. Kehebatan Dario
Marianelli dalam menata musik, juga diapresiasi dalam daftar nominasi
Piala Oscar 2005. Sepuluh lagu yang dipersiapkan Dario, memang bukan
sembarang lagu. Ia menggarapnya secara detail, dengan iringan The
English Chamber Orchestra.
Hingga kini, lagu-lagu semisal Dawn, Stars And Butterflies, The Living Sculptures Of Pemberley atau Meryton Townhall yang ada di film ini, masih dianggap sebagai soundtrack terbaik di dunia perfilman.
|
|
Semua Karena Jane
Film yang bersih dari peluk cium ini, memang terkait dengan Jane Austin. Dialah sang penulis buku Pride & Prejudice.
Seorang penulis kisah asmara, yang tak memberi ruang murahan dalam
karyanya. Joe Wright sebagai sutradara tahu betul hal itu. Ia pun
menghormati Jane, dengan membersihkan semua unsur murahan tersebut.
Ketika Cassandra hendak pergi belajar ke Oxford, yang hanya terpaut
tiga tahun di atasnya, Jane meminta ikut serta. Namun keduanya
terpaksa pulang beberapa bulan kemudian. Mereka tidak terpisahkan.
Sampai-sampai ibunya menegaskan, “Seandainya Cassandra ingin kepalanya
dipenggal, Jane tentu bersikeras ingin berbagi nasib yang sama
[kepalanya ikut dipenggal]”
|
(If Cassandra were going to have
her head cut off, Jane would insist on sharing her fate) [Pool, D. What
Jane Austin Ate and Charles Dickens Knew: From Fox Hunting to Whist,
1993].
Drop out dari Universitas Oxford, Jane tidak kehilangan semangat.
Kakaknya membantu Jane belajar sejarah, sedikit bahasa Latin dan
Italia serta musik. Namun, di tahun 1787, Jane memutuskan jadi penulis.
Karya pertamanya adalah Juvenilia yang terdiri dari tiga
volume, sebuah serial kisah satire dan parodi yang diterbitkan setelah
kematiannya. Pada usia 19 tahun, ia mulai menulis Lady Susan yang kemudian dikenal dengan Northanger Abbey. Pada 1795, ia mulai mengerjakan Elinor dan Marianne, yang akhirnya berganti judul menjadi Sense and Sensibility. Setahun kemudian, ia menulis First Impressions, yang kemudian menjadi karyanya yang paling banyak diapresiasi dan sekaligus karya favoritnya, Pride and Prejudice.
Ketika ayahnya meninggal pada 1805, Jane, Cassandra dan ibunya pindah
ke sebuah desa kecil di selatan Inggris, bernama Chawton. Mereka hidup
miskin, karena uang yang biasa diperoleh dari administrasi kependetaan
secara otomatis berhenti dengan kematian ayahnya.
Ini mirip dengan situasi yang digambarkan Jane Austen dalam Pride and
Prejudice, yakni bila ayah Elizabeth Bennett meninggal, maka
keseluruhan harta keluarga akan berpindah tangan kepada kerabat
laki-laki terdekat, yakni Mr. Collins. Demikian juga kedekatan hubungan
antara Mr. Bennett dan Lizzi, sejatinya menunjukkan kedekatan Jane
Austen dengan ayahnya.
|
Jane yang cantik, kerap menerima lamaran menikah dari banyak pria.
Hampir saja, ia menerima pinangan seorang perjaka terhormat, Harris
Bigg-Wither. Namun sehari setelah menerimanya, ia berubah pikiran.
Perubahan hatinya yang begitu cepat ini tak pelak lagi menjadi skandal
bagi dirinya maupun Cassandra sehingga memaksa mereka harus minggat ke
Bath. Penolakan pinangan ini, sama persis dengan situasi Elizabeth
Bennett dalam Pride and Prejudice; mengingat harga diri ia menolak
lamaran Mr. Collins.
Jane Austen adalah penulis pertama yang menyuguhkan dalam novelnya
tokoh-tokoh modern yang relatif berbeda dan khas lewat kecerdasan,
realisme, simpati dan gaya prosa ala Austen. Ia mendasarkan gayanya
pada kecerdasan dan ironi .
Seperti dalam Pride and Prejudice, Jane menuliskan Darcy sebagai
laki-laki bangsawan yang pongah dan membanggakan diri sehingga Elizabeth
tidak siap menerimanya. Darcy merasa terhukum dengan sikap apatis
Elizabeth. Namun ia membuktikan dirinya pantas mendapatkan cinta
Elizabeth lewat perbuatan mulia yang diperbuatnya pada adik Elizabeth,
yakni Lydia.
Jane ingin mengatakan lewat Pride and Prejudice, ia tak setuju bahwa
“perkawinan merupakan satu-satunya makna kedewasaan” (marriage is the
sole purpose of maturity) . Ia juga menentang, stigma bahwa wanita
adalah objek dari laki-laki.
|
Langganan:
Postingan (Atom)