Kamis, 24 Januari 2013

Pride & Prejudice : Ketika Cinta Bukan Asmara

Pemain utamanya,  cantik dan tampan. Isi ceritanya, romantika asmara.  Itulah gambaran awal film Pride & Prejudice. Dengan kombinasi tadi, maka tak salah jika terbayang bakal ada adegan  mesra atau setidaknya peluk cium, layaknya film sejenis. Tapi sutradara Joe Wright, benar-benar mengacaukan imajinasi penikmat film cinta. Keputusannya memasang Keira Knightley,  adalah bukti kecerdasan Joe, khususnya dalam mengacaukan otak kotor pria.
Siapa yang tak kenal Keira Knightley? Dia adalah bintang film seksi, yang tubuh aduhainya masuk peringkat wanita cantik dan seksi di nomor urut  6 ( versi Majalah Maxim). Ulah ugal-ugalan Knightley berfoto telanjang, di Majalah Vanity Fair,  menjadi pijakan awal, bahwa film ini akan beraroma liar merangsang

Tapi anggapan itu terpatahkan di film ‘Pride & Prejudice’. Karena film ini benar-benar ‘bersih’, tak ada adegan berciuman apalagi lanjut ke pembaringan. Tak ada itu, nihil. Lantas, apa artinya kehadiran bintang seks di film ini? Jawabnya, adalah kejutan.
Pertama, kejutan buat penonton ( khususnya pria), bahwa Knightley tak memunculkan tubuh seksinya secuil pun. Karena sepanjang aktingnya di film ini, ia mengenakan busana panjang, ala gadis Inggris di abad 20. Kedua, kejutan buat Knightley sendiri. Karena perannya sebagai Elizabeth Bennet di film ini, membawanya masuk nominasi Piala Oscar, sebagai aktris terbaik di tahun 2005. Sebagai catatan berikutnya.
Sejak membintangi film ‘bersih’ ini, akting Knightley dibandrol mahal. Majalah Forbes di tahun 2008, memasukkan nama Knightley sebagai salah satu artis termahal, dengan pendapatan 32 juta dollar Amerika Serikat . Forbes mendudukkan Knightley di urutan kedua, artis Hollywood dengan honor tinggi.
Kisah Darcy dan Lizzi

Film berseting abad pertengahan ini, berkisah tentang  Elizabeth Bennet atau Lizzi (Knightley),  seorang wanita dari keluarga kelas menengah yang tinggal di sebuah desa kecil di Inggris. Lizzi berbeda dengan gadis-gadis lain di masa lampau, yang lemah lembut dan penurut.
Sebaliknya, di era zaman bangsawan Inggris itu, Lizzi muncul dengan tabiat keras dan berpendirian kuat.   Di sebuah pesta dansa, ia bertemu pemuda bangsawan bernama Fitzwilliam Darcy (Matthew Macfadyen)  seorang  pemuda yang dingin dan kaku, sama kerasnya seperti Lizzi.
Sejak pertama kali bertemu,  mereka pasang sikap  dingin satu sama lain, namun akhirnya saling jatuh cinta. Tapi anehnya, mereka sama-sama mencoba mengingkari kenyataan tersebut.
Lizzi menganggap Darcy,  layaknya pria dari kalangan bangsawan Inggris, yang selalu merendahkan perempuan dari kalangan menengah. Sikap acuh Dracy, makin menguatkan anggapan Lizzi tentang hal itu.
Sementara Darcy yang jelas-jelas jatuh cinta kepada Lizzi sejak pertama kali bertemu, malah pasang muka sombong. Ia beranggapan Lizzi sebagai perempuan materialistis, layaknya  wanita kelas menengah  lainnya.>>>
Titik prasangka dan harga diri inilah, yang menjadi urat nadi film ini. Tidak seperti kebanyakan film sejenis, di mana wanita, begitu mudah mengungkapkan perasaan, maka di film ini justru kebalikannya.
Daya tarik lain dari film ini adalah soundtrack-nya. Kehebatan Dario Marianelli dalam menata musik, juga diapresiasi dalam daftar nominasi Piala Oscar 2005. Sepuluh lagu yang dipersiapkan Dario, memang bukan sembarang lagu. Ia menggarapnya secara detail, dengan iringan The English Chamber Orchestra.
Hingga kini, lagu-lagu semisal Dawn, Stars And Butterflies, The Living Sculptures Of Pemberley atau Meryton Townhall yang ada di film ini,  masih dianggap sebagai soundtrack terbaik di dunia perfilman.

Semua Karena Jane
Film yang bersih dari peluk cium ini, memang terkait dengan Jane Austin. Dialah sang penulis buku Pride & Prejudice.  Seorang penulis kisah asmara, yang tak memberi ruang murahan dalam karyanya. Joe Wright sebagai sutradara tahu betul hal itu. Ia pun menghormati Jane, dengan membersihkan semua unsur murahan tersebut.   
Jane Austen lahir 16 Desember 1775 di kota Steventon, Hampshire, dekat Basingstoke, Inggris.  Gadis cantik ini, terlahar dari George Austen, seorang pendeta lokal, dan ibunya Cassandra, wanita rumahan. Sang kakak, bernama sama dengan ibunya, Cassandra. Jane sangat dekat dengan Cassandra.
 Ketika Cassandra hendak pergi belajar ke Oxford, yang hanya terpaut tiga tahun di atasnya,  Jane meminta  ikut serta. Namun keduanya terpaksa pulang beberapa bulan kemudian. Mereka tidak terpisahkan. Sampai-sampai ibunya menegaskan, “Seandainya Cassandra ingin kepalanya dipenggal, Jane tentu bersikeras ingin berbagi nasib yang sama [kepalanya ikut dipenggal]”

(If Cassandra were going to have her head cut off, Jane would insist on sharing her fate) [Pool, D. What Jane Austin Ate and Charles Dickens Knew: From Fox Hunting to Whist, 1993].

Drop out dari Universitas Oxford, Jane tidak kehilangan semangat.  Kakaknya  membantu Jane belajar sejarah, sedikit bahasa Latin dan Italia serta musik. Namun, di tahun 1787,  Jane memutuskan jadi penulis.
Karya pertamanya adalah Juvenilia yang terdiri dari tiga volume, sebuah serial kisah satire dan parodi yang diterbitkan setelah kematiannya. Pada usia 19 tahun, ia mulai menulis Lady Susan yang kemudian dikenal dengan Northanger Abbey. Pada 1795, ia mulai mengerjakan Elinor dan Marianne, yang akhirnya berganti judul menjadi Sense and Sensibility. Setahun kemudian, ia menulis First Impressions, yang kemudian menjadi karyanya yang paling banyak diapresiasi dan sekaligus karya favoritnya, Pride and Prejudice.
Ketika ayahnya meninggal pada 1805, Jane, Cassandra   dan ibunya pindah ke sebuah desa kecil di selatan Inggris, bernama Chawton.  Mereka hidup miskin,  karena uang  yang biasa diperoleh dari administrasi kependetaan secara otomatis berhenti dengan kematian ayahnya.
Ini mirip dengan situasi yang digambarkan Jane Austen dalam Pride and Prejudice, yakni  bila ayah Elizabeth Bennett meninggal, maka keseluruhan harta keluarga akan berpindah tangan kepada kerabat laki-laki terdekat, yakni Mr. Collins. Demikian juga kedekatan hubungan antara Mr. Bennett dan Lizzi,  sejatinya menunjukkan kedekatan Jane Austen dengan ayahnya.
Jane yang cantik, kerap menerima lamaran menikah dari banyak pria.  Hampir saja,  ia menerima pinangan seorang perjaka terhormat, Harris Bigg-Wither. Namun sehari setelah menerimanya, ia berubah pikiran. Perubahan hatinya yang begitu cepat ini tak pelak lagi menjadi skandal bagi dirinya maupun Cassandra sehingga memaksa mereka harus minggat ke Bath. Penolakan pinangan ini, sama persis dengan situasi Elizabeth Bennett dalam Pride and Prejudice; mengingat harga diri ia menolak lamaran Mr. Collins.
Jane Austen adalah penulis pertama yang menyuguhkan dalam novelnya tokoh-tokoh modern yang relatif berbeda dan khas lewat kecerdasan, realisme, simpati dan gaya prosa ala Austen.  Ia mendasarkan gayanya pada kecerdasan dan ironi .
Seperti dalam Pride and Prejudice,  Jane menuliskan Darcy sebagai laki-laki bangsawan yang pongah dan membanggakan diri sehingga Elizabeth tidak siap menerimanya. Darcy merasa terhukum dengan sikap apatis Elizabeth. Namun ia membuktikan dirinya pantas mendapatkan cinta Elizabeth lewat perbuatan mulia yang diperbuatnya pada adik Elizabeth, yakni Lydia.
Jane ingin mengatakan lewat Pride and Prejudice, ia tak setuju bahwa   “perkawinan merupakan satu-satunya makna kedewasaan” (marriage is the sole purpose of maturity) . Ia juga menentang,  stigma bahwa wanita adalah objek dari laki-laki.

Saat itu, apa yang dilakukan Jane, jelas sangat luar biasa sekaligus  menentang arus zaman. Jane Austen meninggal pada 18 Juli 1817 di Winchester dan dikebumikan enam hari kemudian di Katedral Winchester.  Ia wafat di usia 42 tahun, dengan meninggalkan satu karya yang belum rampung, The Watsons. Di era milineum ini, Jane seolah hidup lagi. Film Pride & Prejudice, ibarat jembatan penyambung zaman, antara Jane dan kaumnya.  Dengan tujuan, agar wanita  memiliki martabat hidup. Jadi, tak ada salahnya menonton film ini lagi. Agar pria dan wanita, semakin tahu akan arti cinta,  kesetaraan dan cara bersikap.   Dan, bukan menghamba pada asmara yang menghunus syahwat belaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar