Siapa yang tak kenal Keira Knightley? Dia adalah bintang film seksi,
yang tubuh aduhainya masuk peringkat wanita cantik dan seksi di nomor
urut 6 ( versi Majalah Maxim). Ulah ugal-ugalan Knightley berfoto
telanjang, di Majalah Vanity Fair, menjadi pijakan awal, bahwa film ini
akan beraroma liar merangsang
Tapi anggapan itu terpatahkan di film ‘Pride & Prejudice’. Karena
film ini benar-benar ‘bersih’, tak ada adegan berciuman apalagi lanjut
ke pembaringan. Tak ada itu, nihil. Lantas, apa artinya kehadiran
bintang seks di film ini? Jawabnya, adalah kejutan.
Pertama, kejutan buat penonton ( khususnya pria), bahwa Knightley tak
memunculkan tubuh seksinya secuil pun. Karena sepanjang aktingnya di
film ini, ia mengenakan busana panjang, ala gadis Inggris di abad 20.
Kedua, kejutan buat Knightley sendiri. Karena perannya sebagai Elizabeth
Bennet di film ini, membawanya masuk nominasi Piala Oscar, sebagai
aktris terbaik di tahun 2005. Sebagai catatan berikutnya.
Sejak membintangi film ‘bersih’ ini, akting Knightley dibandrol mahal.
Majalah Forbes di tahun 2008, memasukkan nama Knightley sebagai salah
satu artis termahal, dengan pendapatan 32 juta dollar Amerika Serikat .
Forbes mendudukkan Knightley di urutan kedua, artis Hollywood dengan
honor tinggi.
Kisah Darcy dan Lizzi
Film berseting abad pertengahan ini, berkisah tentang Elizabeth Bennet
atau Lizzi (Knightley), seorang wanita dari keluarga kelas menengah
yang tinggal di sebuah desa kecil di Inggris. Lizzi berbeda dengan
gadis-gadis lain di masa lampau, yang lemah lembut dan penurut.
Sebaliknya, di era zaman bangsawan Inggris itu, Lizzi muncul dengan
tabiat keras dan berpendirian kuat. Di sebuah pesta dansa, ia bertemu
pemuda bangsawan bernama Fitzwilliam Darcy (Matthew Macfadyen) seorang
pemuda yang dingin dan kaku, sama kerasnya seperti Lizzi.
Sejak pertama kali bertemu, mereka pasang sikap dingin satu sama lain,
namun akhirnya saling jatuh cinta. Tapi anehnya, mereka sama-sama
mencoba mengingkari kenyataan tersebut.
Lizzi menganggap Darcy, layaknya pria dari kalangan bangsawan Inggris,
yang selalu merendahkan perempuan dari kalangan menengah. Sikap acuh
Dracy, makin menguatkan anggapan Lizzi tentang hal itu.
Sementara Darcy yang jelas-jelas jatuh cinta kepada Lizzi sejak pertama
kali bertemu, malah pasang muka sombong. Ia beranggapan Lizzi sebagai
perempuan materialistis, layaknya wanita kelas menengah lainnya.>>>
|
Titik
prasangka dan harga diri inilah, yang menjadi urat nadi film ini. Tidak
seperti kebanyakan film sejenis, di mana wanita, begitu mudah
mengungkapkan perasaan, maka di film ini justru kebalikannya.
Daya tarik lain dari film ini adalah soundtrack-nya. Kehebatan Dario
Marianelli dalam menata musik, juga diapresiasi dalam daftar nominasi
Piala Oscar 2005. Sepuluh lagu yang dipersiapkan Dario, memang bukan
sembarang lagu. Ia menggarapnya secara detail, dengan iringan The
English Chamber Orchestra.
Hingga kini, lagu-lagu semisal Dawn, Stars And Butterflies, The Living Sculptures Of Pemberley atau Meryton Townhall yang ada di film ini, masih dianggap sebagai soundtrack terbaik di dunia perfilman.
|
|
Semua Karena Jane
Film yang bersih dari peluk cium ini, memang terkait dengan Jane Austin. Dialah sang penulis buku Pride & Prejudice.
Seorang penulis kisah asmara, yang tak memberi ruang murahan dalam
karyanya. Joe Wright sebagai sutradara tahu betul hal itu. Ia pun
menghormati Jane, dengan membersihkan semua unsur murahan tersebut.
Jane
Austen lahir 16 Desember 1775 di kota Steventon, Hampshire, dekat
Basingstoke, Inggris. Gadis cantik ini, terlahar dari George Austen,
seorang pendeta lokal, dan ibunya Cassandra, wanita rumahan. Sang kakak,
bernama sama dengan ibunya, Cassandra. Jane sangat dekat dengan
Cassandra.
Ketika Cassandra hendak pergi belajar ke Oxford, yang hanya terpaut
tiga tahun di atasnya, Jane meminta ikut serta. Namun keduanya
terpaksa pulang beberapa bulan kemudian. Mereka tidak terpisahkan.
Sampai-sampai ibunya menegaskan, “Seandainya Cassandra ingin kepalanya
dipenggal, Jane tentu bersikeras ingin berbagi nasib yang sama
[kepalanya ikut dipenggal]”
|
(If Cassandra were going to have
her head cut off, Jane would insist on sharing her fate) [Pool, D. What
Jane Austin Ate and Charles Dickens Knew: From Fox Hunting to Whist,
1993].
Drop out dari Universitas Oxford, Jane tidak kehilangan semangat.
Kakaknya membantu Jane belajar sejarah, sedikit bahasa Latin dan
Italia serta musik. Namun, di tahun 1787, Jane memutuskan jadi penulis.
Karya pertamanya adalah Juvenilia yang terdiri dari tiga
volume, sebuah serial kisah satire dan parodi yang diterbitkan setelah
kematiannya. Pada usia 19 tahun, ia mulai menulis Lady Susan yang kemudian dikenal dengan Northanger Abbey. Pada 1795, ia mulai mengerjakan Elinor dan Marianne, yang akhirnya berganti judul menjadi Sense and Sensibility. Setahun kemudian, ia menulis First Impressions, yang kemudian menjadi karyanya yang paling banyak diapresiasi dan sekaligus karya favoritnya, Pride and Prejudice.
Ketika ayahnya meninggal pada 1805, Jane, Cassandra dan ibunya pindah
ke sebuah desa kecil di selatan Inggris, bernama Chawton. Mereka hidup
miskin, karena uang yang biasa diperoleh dari administrasi kependetaan
secara otomatis berhenti dengan kematian ayahnya.
Ini mirip dengan situasi yang digambarkan Jane Austen dalam Pride and
Prejudice, yakni bila ayah Elizabeth Bennett meninggal, maka
keseluruhan harta keluarga akan berpindah tangan kepada kerabat
laki-laki terdekat, yakni Mr. Collins. Demikian juga kedekatan hubungan
antara Mr. Bennett dan Lizzi, sejatinya menunjukkan kedekatan Jane
Austen dengan ayahnya.
|
Jane yang cantik, kerap menerima lamaran menikah dari banyak pria.
Hampir saja, ia menerima pinangan seorang perjaka terhormat, Harris
Bigg-Wither. Namun sehari setelah menerimanya, ia berubah pikiran.
Perubahan hatinya yang begitu cepat ini tak pelak lagi menjadi skandal
bagi dirinya maupun Cassandra sehingga memaksa mereka harus minggat ke
Bath. Penolakan pinangan ini, sama persis dengan situasi Elizabeth
Bennett dalam Pride and Prejudice; mengingat harga diri ia menolak
lamaran Mr. Collins.
Jane Austen adalah penulis pertama yang menyuguhkan dalam novelnya
tokoh-tokoh modern yang relatif berbeda dan khas lewat kecerdasan,
realisme, simpati dan gaya prosa ala Austen. Ia mendasarkan gayanya
pada kecerdasan dan ironi .
Seperti dalam Pride and Prejudice, Jane menuliskan Darcy sebagai
laki-laki bangsawan yang pongah dan membanggakan diri sehingga Elizabeth
tidak siap menerimanya. Darcy merasa terhukum dengan sikap apatis
Elizabeth. Namun ia membuktikan dirinya pantas mendapatkan cinta
Elizabeth lewat perbuatan mulia yang diperbuatnya pada adik Elizabeth,
yakni Lydia.
Jane ingin mengatakan lewat Pride and Prejudice, ia tak setuju bahwa
“perkawinan merupakan satu-satunya makna kedewasaan” (marriage is the
sole purpose of maturity) . Ia juga menentang, stigma bahwa wanita
adalah objek dari laki-laki.
|
Saat itu, apa yang dilakukan Jane, jelas sangat luar biasa sekaligus menentang arus zaman. Jane Austen meninggal pada 18 Juli 1817 di Winchester dan dikebumikan enam hari kemudian di Katedral Winchester. Ia wafat di usia 42 tahun, dengan meninggalkan satu karya yang belum rampung, The Watsons. Di era milineum ini, Jane seolah hidup lagi. Film Pride & Prejudice, ibarat jembatan penyambung zaman, antara Jane dan kaumnya. Dengan tujuan, agar wanita memiliki martabat hidup. Jadi, tak ada salahnya menonton film ini lagi. Agar pria dan wanita, semakin tahu akan arti cinta, kesetaraan dan cara bersikap. Dan, bukan menghamba pada asmara yang menghunus syahwat belaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar