Kamis, 24 Januari 2013

Wild at Heart : Kadang Kita Butuh ‘Film Gila’

Sekali-kali film butuh sentuhan tak lazim dari sang sutradara. Seperti David Lynch, yang mengurai cerita cinta dengan bumbu serba muskil dan ‘gila’. Kegilaan Lynch di film Wild at Heart , sudah dimulai sejak menit pertama film ini diputar. Saat di mana Lula Fortune ( Laura Dern) memacu nafsu seks bersama Sailor Ripley ( Nicolas Cage). “Seandainya kita bisa bercinta sepanjang hidup, masa depan akan sedemikian indah dan sederhana”. Inilah penggalan kata dari Lula, yang berucap sambil bersandar di dada sang kekasih.
Benarkah hidup akan indah hanya dengan bercinta habis-habisan?  Rasanya, tidak, tapi buat Lynch mungkin sebaliknya. Ia seolah memberi penekanan bahwa dunia yang serba gila ini, harus dihadapi dengan kegilaan pula. Lynch memang sineas ‘rada-rada’, imajinasinya dalam film, terkadang membuat penonton pusing atau terkaget-kaget.
Di film sebelumnya, Blue Velvet , Lynch mengeksplorasi Dorothy Vallens (Isabella Rossellini) yang harus disiksa dulu sebelum bercinta dengan Frank Booth (Dennis Hooper). Pria ini digambarkan Lynch sebagai maniak seks yang senang  mengenakan topeng sebelum bercinta. Di film ‘Wild at Heart’  Lynch lebih  gila lagi, ia memberi banyak adegan yang kurang rasional, sebagai bumbu untuk melapis tema sederhana di film ini.
Jadi ini film bertema sederhana? Ya, memang begitulah adanya.
Ceritanya, setelah adegan bercinta tadi,  Lula dan Sailor melarikan diri ke California untuk menghindari ibu Lula, Marietta (Dianne Ladd), yang tak menyetujui hubungan mereka.  Wanita paruh baya ini, memerintahkan pacar barunya, Johnny Farragut (Harry Stanton),  untuk mengejar Lula dan Sailor. Di masa pengejaran inilah,  masa lalu Lula, terungkap.
Ketika ayah Lula masih hidup, Marietta memiliki  kekasih gelap bernama Marcello Santos (J.E. Freeman).  Sailor, saat itu, bekerja sebagai sopir Santos dan mencium hubungan gelap ini. Suatu malam, Santos dan Marietta bersekongkol membunuh ayah Lula.
Di sini, Lynch menunjukkan perbedaan. Persekongkolan dan pembunuhan, yang biasanya dilakukan dengan laras senjata, atau diracun, diganti Lynch dengan membakar diri.
Lula hanya tahu, ayahnya mati bunuh diri karena terbakar. Padahal yang sebenarnya terjadi, ayah Lula mati dibakar sang ibu dan kekasih gelapnya.
Di segmen mengenal Lula inilah, sang sineas mengeksplor habis-habisan ide sintingnya. Misalnya, masa kecil Lula yang digambarkan penuh derita, teror, dan kejutan. Yakni, Lula, pernah diperkosa  Paman Pooch, teman bisnis ayahnya.
Lynch masih belum puas memaparkan Lula, maka dibuatlah adegan Lula aborsi. Wajah tegang, sakit dan kesal bercampur darah, membuat penonton sedikit jijik melihatnya. >>>
Itulah Lynch, yang begitu ‘sinting’ dengan adegan aborsi. Selesaikah ulah Lynch sampai di sini? Tidak, ia masih menambahi adegan membuang janin ke tong sampah.
Kita memang sering mendengar aborsi, dan kerap mendapatkan berita tentang janin yang dibuang ke tong sampah. Tapi semua itu sebatas informasi atau berita di teve, surat kabar atau majalah.
Tak ada paparan detail, karena yang dibutuhkan memang sebatas info saja. Tapi Lynch, menceritakan fragmen hidup aborsi secara detail.
Lynch memang gila, kalau begini.
Di adegan lain, ada Bobby Peru (Willem Dafoe) dan kekasihnya Perdita Durango (Isabella Rossellini). Bobby yang berbaju hitam, berambut licin penuh minyak, dan bergigi mrongos itu ternyata mampu merangsang Lula hingga Lula terengah-engah.  Puas menggoda Lula, Bobby  menjerumuskan  Sailor untuk ikut  merampok bank, karena tahu isi dompet Sailor tinggal US$ 40.
Polisi datang, mereka terkepung. Saat itu, kita akan berpikir Bobby akan menyerah. Di tangan Lynch, beda, . Bobby  malah bunuh diri dengan menembak lehernya sendiri. Kepalanya melesat dan tangannya terpental jauh. Saat itulah, muncul seekor anjing menggondol tangan itu.
Bagaimana, Anda masih tak setuju jika Lynch disebut sineas gila?

Butuh Perkenalan
Untuk memahami film ini, faktor paling penting adalah siap terkejut dan merasa aneh. Maka sebaiknya, tonton dulu karya Lynch yang lain, sebelum mata ini bersiap menikmati sajian Wild at Heart. Lula dan Sailor, adalah potret remaja 90-an, yang nakal tapi tetap ‘remaja’. Mereka panik, mereka bercinta, mereka marah, semua masih dalam koridor rahim anak muda.
Tak ada yang aneh dari pasangan ini. Karena itulah, Lynch butuh keanehan untuk mendarahi filmnya. Kalau hanya mengandalkan yang lurus-lurus saja, atau biasa-biasa saja, maka Lynch bertaruh filmnya akan jeblok. Bagi Anda penggemar cinta romansa, maka Lynch masih menyisakan ruang ini buat Anda. Seperti saat Sailor  jingkrak-jingkrak mereka ketika mendengar musik heavy metal, atau akhir cerita, saat Sailor meniru Elvis Presley menyanyi Love Me Tender di kap mobil di jalan yang macet.



Seperti dikatakan di awal sub judul tadi, siapapun yang menonton film ini, harus memahami karya sang sineas, sebelumnya. Maka tak ada salahnya menonton lagi   Elephant Man, Eraserhead, Blue Velvet, dan miniseri TV Twin Peaks. Di beberapa film yang disebut tadi, banyak terangkum adegan aneh, dan kita jangan sampai ikut-ikutan menjadi penonton aneh.
Di luar daftar karya Lynch tadi, ada satu catatan, bahwa   penggarapan Wild at Heart tidak serapi Blue Velvet.  Karena di film Wild at Heart,  Lynch justru terlalu asyik melayani fantasi otaknya. Tapi siapa sangka, dengan segala kegilaannya tadi, Lynch mendapat penghargaan Piala Palme’d’Or di ajang film Cannes.
Di tengah sesaknya film –film ‘lurus’ saat ini, maka menonton film bernyawa zigzag seperti Wild at Heart, tentunya sangat menyenangkan. Bayangkan saja, lebih dari 11 tahun silam, film ini dibuat, tapi  rasanya film ini tetap hangat, up date dan tak basi. Apa rahasianya? Ya, segala racikan gila tadi tentunya. Anda butuh imajinasi ekstrem ? Tontonlah film ini. Selamat bernostalgia dan jangan takut ‘gila’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar