Kamis, 24 Januari 2013

The Devil Inside: Sukses Film Berbiaya Murah

Film dengan sentuhan mockumentary, akan menyisakan cercaan. Selain gambar-gambarnya dianggap sampah, ending film bergenre horor ini, juga tak jelas. Tapi William Brent  memilih tutup kuping. Ia justru melapis film horor karyanya, dengan mockumentary. Ribut-ribut soal mockumentary sudah berlangsung sejak lama. Para penggarap film dokumenter pun bereaksi keras,  karena mockumentary mirip documenter, hanya saja mocumentary fiktif dan  penuh tipuan. Mockumentary lahir dari otak-otak kreatif di industri film. Di mana, cerita rekaan atau fiksi difilmkan dengan gaya dokumenter. Dan, hasilnya seolah-olah peristiwa nyata padahal palsu. Di barisan inilah, William Brent berdiri.
William Brent, sang sutradara sekaligus penulis naskah The Devil Inside, tak peduli dengan cibiran orang, yang menganggapnya sineas miskin kreasi. Sejak awal syuting, dan setelah rampung editing, hujan cerca terus menghujaninya. “Film murahan, sampah, siapa mau menonton?”. William Brent hanya tersenyum, ia tak marah disumpahi seperti itu. Semua cerca tadi, langsung terhenti, manakala The Devil Inside mampu duduk di nomor satu film box office tahun ini. Lebih mencengangkan lagi, film ini untung besar secara finansial. Bayangkan saja, William Brent meraup untung lebih dari 100 juta dollar Amerika, sementara modalnya hanya 1 juta dollar Amerika saja.
Pembunuhan Sadis

William Brent membuka filmnya dengan datar, berupa percakapan via telepon antara Maria Rossi (Suzan Crowley) dengan petugas kepolisian. Adegan yang seolah-olah  fakta ini, terjadi pada 30 Oktober 1989.
Maria mengabarkan tragedi pembunuhan di Hartford Selatan.  Ketika ditanya siapa pelakunya, Maria menjawab, “Saya yang membunuh mereka, Pak”. Klik, seketika telepon terputus.
Berikutnya, William mengurung mata pemirsa dengan pemandangan sadis. Ia mengambil bumbu ala dokumenter, dengan menyajikan gambar (lagi-lagi)  seolah fakta.
Di rumah naas itu, polisi menemukan tiga korban anggota gereja tergeletak mengenaskan. Ada mayat pria tua, pelipisnya berdarah-darah.  Mayat lainnya, tersungkur ke lantai dasar. Dan, mayat berikutnya, pria dengan jerat luka di lehernya.
Kejadian ini, membuat media heboh.  Pihak kepolisian menyimpulkan, para korban dibunuh saat melakukan ritual pengusiran setan, yang ada di tubuh Maria. Lantaran Maria dianggap tidak waras, maka bukan penjara tempatnya. Melainkan  dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Tapi anehnya, Maria dibawa ke rumah sakit jiwa yang jauh dari kediamannya, yakni di Italia.
Diceritakan, 20 tahun kemudian, anak perempuan Maria satu-satunya, Isabella (Fernanda Andrade) datang ke rumah sakit jiwa di mana sang ibu berada. Sang anak ingin mencari tahu, soal kebenaran bahwa ibunya kerasukan atau memang murni sakit jiwa.
Isabella datang tidak sendirian, melainkan mengajak seorang sutradara film dokumenter, bernama D Michael (Ionut Grama) .  Isabella meminta Michael merekam kunjungan ini, sekaligus mendomentasikan tentang apa yang disebut exorcisms atau ritual mengusir setan.
Dibantu dua orang pendeta, Ben (Simon Quarterman) dan David (Evan Helmuth), Isabella memulai petualangannya. Ia mencoba masuk ke dunia ritual pengusiran setan. Tapi berbeda dengan film horor lainnya, ritual kali ini, jauh lebih seram dan mengerikan.
Pantas, William Brent menuliskan tagline di filmnya  No soul is safe.
Berikutnya, penonton dibuat bingung. Karena visual yang terpampang tak nyaman untuk ditonton. Bagaimana enak ditonton, jika gambar bergoyang-goyang? Sekian menit kemudian, barulah gambar normal.
Jika dicermati, ini merupakan cara William untuk mendramatisir suasana, sehingga mocumentary yang diinginkannya tercapai.
Tapi harus dicatat, adegan pengusiran setan di film ini, benar-benar mengerikan.  Maria, misalnya, begitu dingin memerankan tokoh orang gila sekaligus pembunuh. Di tiap detik adegan pengusiran setan, bersiaplah untuk menjerit, karena berkali-kali muncul kejutan plus dentuman musik yang tak tentu biramanya.
cara William untuk mendramatisir suasana
Lantas, bagaimana ending film ini? William Brent, membiarkan cerita bergantung, tanpa klimaks. Jangan bertanya, bagaimana  Brent bisa menghilangkan tokoh Maria Rossi yang sejak detik pertama ia ceritakan?
Brent juga tak menjelaskan, kenapa  Maria yang dulunya wanita taat agama, kini dikuasai empat setan bernama Asbeel.  Penonton dibiarkan  ‘bodoh’ ,karena tak ada penjelasan bagaimana  Asbeel merasuki jiwa Maria.
Tapi itulah Brent, ia malah menyisakan Isabella, yang masih bingung untuk menyimpulkan apakah sang ibu waras atau tidak? Tak ada ending, tak ada kejelasan. 
Sepertinya, Brent sengaja membuat tanda tanya besar. Ia seolah memberi tanda bakal ada sekuel atau lanjutan film ini.

Tema Eksorsisme
Eksorsisme (dari bahasa Latin Akhir exorcismus) adalah praktik religius mengusir setan. Sejak abad ke-2, cara ini dilakukan turun temurun, hingga saat ini. Secara ilmiah, kemasukan setan bukan diagnosis psikiatris juga bukan hasil medis.  Mereka yang  mengalami hal ini,  dianalogikan memiliki penyakit mental, seperti histeria, mania, psikosis, sindrom Tourette's, epilepsi, skizofrenia atau gangguan identitas disosiatif. Pada  kasus gangguan identitas disosiatif, mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai setan.  Selain itu, ada bentuk demonomania,  monomania atau  demonopathy,  di mana pasien percaya bahwa ia atau  dia dimiliki oleh satu atau lebih setan. Kejadian seperti ini, kemudian banyak diangkat sineas menjadi tema film layar lebar. Banyak ragam dan cara untuk menampilkannya. Seperti halnya William Brent dengan filmnya The Devil Inside. Tapi masalahnya, Brent tak menjelaskan seperti apa tokoh Maria bisa mengalami ‘kemasukan’. Tak ada telaah sedikit ilmiah, hingga membuat penonton ‘dipaksa dan terpaksa’ mengangguk setuju.

Mungkin Brent harus menengok karya koleganya,  William Peter Blatty dan sineas kawakan William Friedkin saat menggarap The Exorcist ( 1973). Kala itu, Peter dan William mampu menjelaskan bagaimana kerasukan setan itu terjadi. Dengan sentuhan sedikit ilmiah itu, Peter Blatty diganjar Oscar untuk skenario adaptasi terbaik.  Film ini, bahkan meraih 10 mominasi Academy Awards.  Sejak saat itu, The Exorcist seolah menjadi ‘kiblat’ bagi para pembuat film horror bertema eksorsisme.
 
memilih pemain tak berkelas, tapi hasilnya berbuah sukses
Lepas dari persoalan ilmiah, film karya Brent ini, membuktikan  kedigdayaan genre found footage di jagat perfilman. Brent, juga ingin menegaskan  bahwa faktor nama-nama besar sebagai pemain, bukan jaminan  tembus  box office. Seperti dalam filmnya, Brent lebih suka memilih pemain tak berkelas, tapi hasilnya berbuah sukses. Anda setuju dengan cara Brent ini? Kalau iya, maka tontonlah film The Devil Inside

Tidak ada komentar:

Posting Komentar