Film dengan sentuhan mockumentary, akan menyisakan cercaan. Selain gambar-gambarnya dianggap sampah, ending film
bergenre horor ini, juga tak jelas. Tapi William Brent memilih tutup
kuping. Ia justru melapis film horor karyanya, dengan mockumentary. Ribut-ribut soal mockumentary sudah berlangsung sejak lama. Para penggarap film dokumenter pun bereaksi keras, karena mockumentary mirip documenter, hanya saja mocumentary fiktif dan penuh tipuan. Mockumentary lahir
dari otak-otak kreatif di industri film. Di mana, cerita rekaan atau
fiksi difilmkan dengan gaya dokumenter. Dan, hasilnya seolah-olah
peristiwa nyata padahal palsu. Di barisan inilah, William Brent berdiri.
William Brent, sang sutradara sekaligus penulis naskah The Devil Inside, tak peduli dengan cibiran orang, yang menganggapnya sineas miskin kreasi. Sejak awal syuting, dan setelah rampung editing,
hujan cerca terus menghujaninya. “Film murahan, sampah, siapa mau
menonton?”. William Brent hanya tersenyum, ia tak marah disumpahi
seperti itu. Semua cerca tadi, langsung terhenti, manakala The Devil Inside mampu duduk di nomor satu film box office tahun
ini. Lebih mencengangkan lagi, film ini untung besar secara finansial.
Bayangkan saja, William Brent meraup untung lebih dari 100 juta dollar
Amerika, sementara modalnya hanya 1 juta dollar Amerika saja.
Pembunuhan Sadis
William Brent membuka filmnya dengan datar, berupa percakapan via
telepon antara Maria Rossi (Suzan Crowley) dengan petugas kepolisian.
Adegan yang seolah-olah fakta ini, terjadi pada 30 Oktober 1989.
Maria mengabarkan tragedi pembunuhan di Hartford Selatan. Ketika
ditanya siapa pelakunya, Maria menjawab, “Saya yang membunuh mereka,
Pak”. Klik, seketika telepon terputus.
Berikutnya, William mengurung mata pemirsa dengan pemandangan sadis. Ia
mengambil bumbu ala dokumenter, dengan menyajikan gambar (lagi-lagi)
seolah fakta.
Di rumah naas itu, polisi menemukan tiga korban anggota gereja
tergeletak mengenaskan. Ada mayat pria tua, pelipisnya berdarah-darah.
Mayat lainnya, tersungkur ke lantai dasar. Dan, mayat berikutnya, pria
dengan jerat luka di lehernya.
Kejadian ini, membuat media heboh. Pihak kepolisian menyimpulkan, para
korban dibunuh saat melakukan ritual pengusiran setan, yang ada di tubuh
Maria. Lantaran Maria dianggap tidak waras, maka bukan penjara
tempatnya. Melainkan dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Tapi anehnya,
Maria dibawa ke rumah sakit jiwa yang jauh dari kediamannya, yakni di
Italia.
Diceritakan, 20 tahun kemudian, anak perempuan Maria satu-satunya,
Isabella (Fernanda Andrade) datang ke rumah sakit jiwa di mana sang ibu
berada. Sang anak ingin mencari tahu, soal kebenaran bahwa ibunya
kerasukan atau memang murni sakit jiwa.
|
Isabella datang tidak sendirian, melainkan mengajak seorang sutradara
film dokumenter, bernama D Michael (Ionut Grama) . Isabella meminta
Michael merekam kunjungan ini, sekaligus mendomentasikan tentang apa
yang disebut exorcisms atau ritual mengusir setan.
Dibantu dua orang pendeta, Ben (Simon Quarterman) dan David (Evan
Helmuth), Isabella memulai petualangannya. Ia mencoba masuk ke dunia
ritual pengusiran setan. Tapi berbeda dengan film horor lainnya, ritual
kali ini, jauh lebih seram dan mengerikan.
Pantas, William Brent menuliskan tagline di filmnya No soul is safe.
Berikutnya, penonton dibuat bingung. Karena visual yang terpampang tak
nyaman untuk ditonton. Bagaimana enak ditonton, jika gambar
bergoyang-goyang? Sekian menit kemudian, barulah gambar normal.
Jika dicermati, ini merupakan cara William untuk mendramatisir suasana, sehingga mocumentary yang diinginkannya tercapai.
Tapi harus dicatat, adegan pengusiran setan di film ini, benar-benar
mengerikan. Maria, misalnya, begitu dingin memerankan tokoh orang gila
sekaligus pembunuh. Di tiap detik adegan pengusiran setan, bersiaplah
untuk menjerit, karena berkali-kali muncul kejutan plus dentuman musik
yang tak tentu biramanya.
cara William untuk mendramatisir suasana
Lantas, bagaimana ending film ini? William Brent, membiarkan cerita
bergantung, tanpa klimaks. Jangan bertanya, bagaimana Brent bisa
menghilangkan tokoh Maria Rossi yang sejak detik pertama ia ceritakan?
Brent juga tak menjelaskan, kenapa Maria yang dulunya wanita taat
agama, kini dikuasai empat setan bernama Asbeel. Penonton dibiarkan
‘bodoh’ ,karena tak ada penjelasan bagaimana Asbeel merasuki jiwa
Maria.
Tapi itulah Brent, ia malah menyisakan Isabella, yang masih bingung
untuk menyimpulkan apakah sang ibu waras atau tidak? Tak ada ending, tak
ada kejelasan.
Sepertinya, Brent sengaja membuat tanda tanya besar. Ia seolah memberi tanda bakal ada sekuel atau lanjutan film ini.
|
|
Tema Eksorsisme
Eksorsisme (dari bahasa Latin Akhir exorcismus) adalah praktik religius
mengusir setan. Sejak abad ke-2, cara ini dilakukan turun temurun,
hingga saat ini. Secara ilmiah, kemasukan setan bukan diagnosis
psikiatris juga bukan hasil medis. Mereka yang mengalami hal ini,
dianalogikan memiliki penyakit mental, seperti histeria, mania,
psikosis, sindrom Tourette's, epilepsi, skizofrenia atau gangguan
identitas disosiatif. Pada kasus gangguan identitas disosiatif, mereka
mengidentifikasikan dirinya sebagai setan. Selain itu, ada bentuk
demonomania, monomania atau demonopathy, di mana pasien percaya bahwa
ia atau dia dimiliki oleh satu atau lebih setan. Kejadian seperti ini,
kemudian banyak diangkat sineas menjadi tema film layar lebar. Banyak
ragam dan cara untuk menampilkannya. Seperti halnya William Brent dengan
filmnya The Devil Inside. Tapi masalahnya, Brent tak
menjelaskan seperti apa tokoh Maria bisa mengalami ‘kemasukan’. Tak ada
telaah sedikit ilmiah, hingga membuat penonton ‘dipaksa dan terpaksa’
mengangguk setuju.
|
Mungkin Brent harus menengok karya koleganya, William Peter Blatty dan sineas kawakan William Friedkin saat menggarap The Exorcist
( 1973). Kala itu, Peter dan William mampu menjelaskan bagaimana
kerasukan setan itu terjadi. Dengan sentuhan sedikit ilmiah itu, Peter
Blatty diganjar Oscar untuk skenario adaptasi terbaik. Film ini, bahkan
meraih 10 mominasi Academy Awards. Sejak saat itu, The Exorcist seolah menjadi ‘kiblat’ bagi para pembuat film horror bertema eksorsisme.
memilih pemain tak berkelas, tapi hasilnya berbuah sukses
Lepas dari persoalan ilmiah, film karya Brent ini, membuktikan kedigdayaan genre found footage di jagat perfilman. Brent, juga ingin menegaskan bahwa faktor nama-nama besar sebagai pemain, bukan jaminan tembus box office.
Seperti dalam filmnya, Brent lebih suka memilih pemain tak berkelas,
tapi hasilnya berbuah sukses. Anda setuju dengan cara Brent ini? Kalau
iya, maka tontonlah film The Devil Inside
Tidak ada komentar:
Posting Komentar