Alangkah indahnya apabila sebuah film dapat mencerminkan budaya
Indonesia dengan apa adanya tanpa membesar-besarkan atau
melebih-lebihkan dari realita sebenarnya. Terkadang, karena faktor ingin
menumbuhkan rasa nasionalisme kepada penontonnya, sebuah karya film
terkadang dibuat menjadi semacam propoganda yang menyembunyikan realita.
Padahal pada sesungguhnya, sebuah bangsa itu tentunya pasti ada
kelebihan dan kekurangannya dalam segi apapun, baik secara sistem
politik nasional, strata masyarakat, maupun budaya yang sudah ratusan
tahun kita pegang.
Itulah yang patut dihargai dari film "SANG PENARI"
garapan sutradara Ifa Isfansyah yang diangkat dari novel "Ronggeng Dukuh
Paruk" karya Ahmad Tohari. Adaptasi ini tentunya sangat patut dihargai
karena keputusan sang sutradara bersama penulis skenario Salman Aristo
dan produser Shanty
Harmayn memmerlukan keberanian yang tinggi. Tak hanya itu, film ini
telah digarap dengan sangat teliti dan hati-hati karena telah
menghabiskan waktu sekitar 3 tahun untuk penyelesaiannya. Hasilnya?
Sangat sesuai ekspetasi yang diharapkan.
|
|
|
|
"Sang Penari" pada dasarnya menceritakan kisah yang tidak jauh berbeda
dari cerita-cerita lain, yaitu sebuah kisah cinta. Namun perbedaannya,
kisah cinta dalam film ini dibalut dengan latar etnik yang kental dan
situasi politik panas yang mengguncang tanah air di era tahun 60an.
Terjadi di Kampung duku Paruk, sebuah kisah cinta telah terjain antara seorang pemuda bernama Rasus (Oka Antara) dengan gadis cantik bernama Srintil (Prisia Nasution).
Sejak kecil mereka selalu bermain berdua dan melakukan segala kegiatan
bersama-sama sehingga Rasus pun selalu berpikir bahwa Srintil adalah
takdir belahan hatinya.
Namun sayangnya, walau Srintil juga mempunyai perasaan yang sama
terhadap Rasus, namun ia mempunyai cita-cita yang tentunya akan
menghalang hubungan mereka. Sejak kecil Srintil selalu mendabakan
menjadi Ronggeng karena kegemarannya dalam menari.>>>
|
Bahkan, warga kampung pun percaya bahwa dirinya adalah sosok 'titisan
ronggeng' dan keputusannya ada di tangan Kertaredja (Slamet Rahardjo).
Namun Srintil pun juga tidak sepenuh mengerti bahwa menjadi Ronggeng itu
berarti dia adalah milik masyarakat, dalam arti, ia harus memberikan
jiwa dan raganya untuk kampung, termasuk tubuhnya.
Kecewa dengan keputusan Srintil, Rasus memutuskan untuk meninggalkan kampung dan diangkat menjadi tentara oleh Sersan Binsar (Tio Pakusadewo).
Seiring waktu, dengan Srintil yang mulai termakan dengan profesi
mulianya, dan Rasus semakin serius menjadi tentara negara, revolusi
merah mulai menyebar sampai kampung Dukuh Paruk, dimana para warga
termasuk Srintil dilanda nasib buruk karena keluguan mereka.
|
Sinematografi yang indah mendampingi
alur cerita yang berat namun bermakna dalam film "Sang Penari" ini.
Apalagi ditambah dengan kualitas akting yang mengagumkan dari kedua
pemeran utama PRisia Nasution dan Okan Antara, film yang terkesan vulgar
dan jujur ini merupakan suatu karya seni yang wajib disaksikan oleh
seluruh masyarakat Indonesia. Selain membahas budaya yang sangat
bertolak belakang dengan standar norma yang dipegang masyarakat kini,
"Sang Penari" juga dengan berani mengangkat sejarah G30S-PKI dimana
tentara nasional tanpa bulu mata mengeksekusi ribuan warga Indonesia
karena diduga terlibat dengan partai PKI.
|
Kamis, 24 Januari 2013
Sang Penari Bicara Jujur Tentang Budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar