Kamis, 24 Januari 2013

Sang Penari Bicara Jujur Tentang Budaya

Alangkah indahnya apabila sebuah film dapat mencerminkan budaya Indonesia dengan apa adanya tanpa membesar-besarkan atau melebih-lebihkan dari realita sebenarnya. Terkadang, karena faktor ingin menumbuhkan rasa nasionalisme kepada penontonnya, sebuah karya film terkadang dibuat menjadi semacam propoganda yang menyembunyikan realita. Padahal pada sesungguhnya, sebuah bangsa itu tentunya pasti ada kelebihan dan kekurangannya dalam segi apapun, baik secara sistem politik nasional, strata masyarakat, maupun budaya yang sudah ratusan tahun kita pegang. 
Itulah yang patut dihargai dari film "SANG PENARI" garapan sutradara Ifa Isfansyah yang diangkat dari novel "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari. Adaptasi ini tentunya sangat patut dihargai karena keputusan sang sutradara bersama penulis skenario Salman Aristo dan produser Shanty Harmayn memmerlukan keberanian yang tinggi. Tak hanya itu, film ini telah digarap dengan sangat teliti dan hati-hati karena telah menghabiskan waktu sekitar 3 tahun untuk penyelesaiannya. Hasilnya? Sangat sesuai ekspetasi yang diharapkan.


 
"Sang Penari" pada dasarnya menceritakan kisah yang tidak jauh berbeda dari cerita-cerita lain, yaitu sebuah kisah cinta. Namun perbedaannya, kisah cinta dalam film ini dibalut dengan latar etnik yang kental dan situasi politik panas yang mengguncang tanah air di era tahun 60an. 
Terjadi di Kampung duku Paruk, sebuah kisah cinta telah terjain antara seorang pemuda bernama Rasus (Oka Antara) dengan gadis cantik bernama Srintil (Prisia Nasution). Sejak kecil mereka selalu bermain berdua dan melakukan segala kegiatan bersama-sama sehingga Rasus pun selalu berpikir bahwa Srintil adalah takdir belahan hatinya. 
Namun sayangnya, walau Srintil juga mempunyai perasaan yang sama terhadap Rasus, namun ia mempunyai cita-cita yang tentunya akan menghalang hubungan mereka. Sejak kecil Srintil selalu mendabakan menjadi Ronggeng karena kegemarannya dalam menari.>>>
 
Bahkan, warga kampung pun percaya bahwa dirinya adalah sosok 'titisan ronggeng' dan keputusannya ada di tangan Kertaredja (Slamet Rahardjo).
Namun Srintil pun juga tidak sepenuh mengerti bahwa menjadi Ronggeng itu berarti dia adalah milik masyarakat, dalam arti, ia harus memberikan jiwa dan raganya untuk kampung, termasuk tubuhnya.
Kecewa dengan keputusan Srintil, Rasus memutuskan untuk meninggalkan kampung dan diangkat menjadi tentara oleh Sersan Binsar (Tio Pakusadewo). 
Seiring waktu, dengan Srintil yang mulai termakan dengan profesi mulianya, dan Rasus semakin serius menjadi tentara negara, revolusi merah mulai menyebar sampai kampung Dukuh Paruk, dimana para warga termasuk Srintil dilanda nasib buruk karena keluguan mereka.
 

Sinematografi yang indah mendampingi alur cerita yang berat namun bermakna dalam film "Sang Penari" ini. Apalagi ditambah dengan kualitas akting yang mengagumkan dari kedua pemeran utama PRisia Nasution dan Okan Antara, film yang terkesan vulgar dan jujur ini merupakan suatu karya seni yang wajib disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Selain membahas budaya yang sangat bertolak belakang dengan standar norma yang dipegang masyarakat kini, "Sang Penari" juga dengan berani mengangkat sejarah G30S-PKI dimana tentara nasional tanpa bulu mata mengeksekusi ribuan warga Indonesia karena diduga terlibat dengan partai PKI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar